ENERGI KOLEKTIF ATAU LEGITIMASI KEKUASAAN?

 Tanwir Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) kali ini mengusung tema besar, yaitu “Energi Kolektif untuk Negeri.” Sebuah tema yang sekilas mengandung semangat optimisme dan kebersamaan untuk membangun bangsa. Namun di balik tema tersebut, tersimpan pertanyaan mendasar: energi kolektif yang seperti apa yang hendak dibangun, dan untuk kepentingan siapa energi itu sebarkan? Apakah untuk memperkuat daya rakyat, atau justru untuk memperkuat legitimasi kekuasaan yang sudah lama menindas rakyat?

Tema ini semestinya menjadi ruang refleksi kritis bagi seluruh kader yang ada di ikatan ini terhadap kondisi sosial, ekonomi, dan politik bangsa hari ini. Terutama dalam sektor ekonomi dan energi yang kini menjadi sumber utama ketimpangan struktural. Energi dan sumber daya alam yang seharusnya menjadi milik rakyat justru dikuasai oleh segelintir elite dan korporasi besar. Namun, di tengah kondisi itu, panggung Tanwir yang seharusnya menjadi forum permusyawaratan ideologis malah diisi oleh para tokoh kekuasaan. Padahal, Tanwir bukan sekadar ajang seremonial, melainkan ruang strategis untuk menentukan arah gerak organisasi dan memperkuat basis ideologinya.

Kehadiran Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia dalam forum Tanwir IMM tidak bisa dibaca hanya sebagai “silaturahmi.” Dalam politik, tidak ada yang benar-benar netral. Setiap kehadiran, setiap simbol, selalu mengandung makna kekuasaan. Kehadiran seorang menteri Bahlil Lahadalia yang mewakili lembaga dengan kebijakan ekonomi dan energi yang sarat kepentingan oligarki tentu tidak lepas dari motif politik tertentu. Apalagi ketika kementerian yang dipimpinnya selama ini menjadi bagian dari sistem ekonomi yang eksploitatif, yang membuat rakyat kecil terus berada di posisi paling lemah dalam rantai produksi energi nasional.

Kemudian bagaimana mungkin IMM berbicara tentang “energi kolektif untuk negeri” jika energi negeri ini justru dieksploitasi oleh kekuatan modal dan kekuasaan? Bagaimana mungkin bicara tentang kemandirian ekonomi umat sementara sumber daya alam dikuasai segelintir korporasi raksasa yang dekat dengan kekuasaan? Apakah IMM akan berdiri di sisi rakyat yang tertindas, atau justru menjadi bagian dari narasi yang menormalisasi ketimpangan tersebut?

Antonio Gramsci pernah memperingatkan kita tentang “hegemoni” bahwa kekuasaan tidak hanya bekerja melalui paksaan, tetapi juga lewat persetujuan yang dibangun di ruang-ruang kultural dan intelektual. Ketika gerakan mahasiswa mulai kehilangan daya kritis dan justru memberi ruang bagi elite kekuasaan untuk berbicara tanpa ada keberanian menggugat, maka di situlah hegemoni bekerja dengan halus. Ia tidak menindas secara fisik, tetapi secara membius kesadaran.

Ketika DPP IMM mengundang tokoh-tokoh kekuasaan tanpa menampilkan sikap kritis, maka Tanwir itu sendiri sedang berada dalam jebakan hegemoni tersebut. Ruang yang seharusnya menjadi arena dialektika dan pembebasan berubah menjadi panggung legitimasi kekuasaan. Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), yang seharusnya menjadi kekuatan moral dan intelektual umat, berisiko berubah menjadi ornamen seremonial yang hanya mempercantik wajah kekuasaan.


Kritik ini bukanlah serangan terhadap personal Bahlil atau siapapun pejabat yang hadir, melainkan sebuah panggilan untuk menegaskan kembali arah politik gerakan IMM. Sebagai gerakan mahasiswa Islam, IMM memiliki tanggung jawab historis untuk menjaga jarak kritis terhadap kekuasaan. IMM tidak boleh kehilangan keberanian untuk bersuara, untuk menggugat kebijakan yang menindas rakyat kecil. IMM bukan lembaga penasihat pemerintah, bukan pula alat legitimasi kekuasaan. IMM adalah gerakan moral juga intelektual yang berpihak kepada mustadh’afin atau kaum yang tertindas dan dimarjinalkan oleh sistem ekonomi politik yang timpang.

Sektor energi hari ini menjadi salah satu ladang ketimpangan paling nyata. Korupsi, perampasan ruang hidup, dan penguasaan sumber daya oleh korporasi besar adalah fakta yang tak bisa disembunyikan. Di tengah situasi itu, kehadiran tokoh kekuasaan dalam Tanwir seharusnya menjadi momentum untuk menguji keberanian IMM dalam bersikap. Apakah IMM berani menggugat kebijakan yang eksploitatif, atau hanya akan tersenyum sopan dan memberi tepuk tangan?

Tema “Energi Kolektif untuk Negeri” akan kehilangan maknanya bila dijalankan tanpa keberpihakan yang jelas. Energi kolektif bukan tentang merangkul kekuasaan, tetapi tentang mengonsolidasikan kesadaran dan keberanian kolektif untuk menantang kekuasaan yang tidak adil. Energi kolektif bukan soal menyatukan diri dalam agenda penguasa, melainkan menyatukan kekuatan rakyat untuk melawan ketimpangan yang mereka ciptakan.

Tanwir seharusnya menjadi ruang dialektika, ruang perlawanan intelektual, bukan panggung seremonial yang menormalisasi relasi subordinatif antara mahasiswa dan pemerintah. IMM harus berani kembali ke akar ideologinya dan menjadi gerakan independen yang berlandaskan nilai Islam, yang membela kebenaran dan keadilan tanpa kompromi. Ketika IMM kehilangan jarak kritisnya, maka ia kehilangan ruh gerakannya. Ketika IMM terlalu sibuk mencari legitimasi dari kekuasaan, maka yang hilang adalah daya moral dan keberaniannya untuk menggugat ketidakadilan.

Kita tidak sedang kekurangan energi. Tetapi yang kekurangan kita adalah sikap ideologis yang teguh. Energi kolektif tanpa arah perjuangan hanyalah slogan kosong. Dan selama IMM lebih sibuk mencari pengakuan daripada memperjuangkan kebenaran, maka Tanwir ini hanya akan menjadi panggung simbolik yang penuh kata “energi,” tetapi tanpa daya untuk mengguncang ketidakadilan.

Kini pertanyaannya, apakah IMM akan menyalakan api perlawanan dan kesadaran kolektif itu, atau justru menjadi lilin kecil yang redup dalam terangnya lampu kekuasaan?

Tanwir bukanlah panggung bagi kekuasaan untuk menanamkan pengaruhnya, melainkan ruang bagi kader untuk menyalakan kesadaran dan keberanian. IMM lahir bukan untuk tunduk, tapi untuk menggugat. Dan ketika suara kritis dibungkam oleh tepuk tangan seremonial, maka di situlah ruh gerakan mulai padam.

Pertanyaannya sekarang adalah Apakah kita masih menjadi bagian dari gerakan pembebasan, atau hanya menjadi dekorasi kekuasaan? 

Karena sejarah tidak akan menulis nama mereka yang diam, tetapi mereka yang berani melawan arus ketidakadilan.

“Energi kolektif sejati bukanlah tentang siapa yang hadir di panggung, tapi siapa yang berani bersuara melawan panggung itu.”

Anggun dalam moral, Unggul dalam intelektual, Radikal dalam bergerak

Fastabiqul khirat

Surakarta, 31 Oktober 2025

an, Ketua Umum IMM Komisariat Moh.Hatta 

Bidang Hikmah Komisariat Moh.Hatta Periode 2025/2026

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Profil IMM KOM. MOH. HATTA

Kenaikan PPN : Antara Kebutuhan Pemerintah dan Penderitaan Rakyat

Kaderisasi Bukan Romansa, Melainkan Rasa yang Harus Dijaga