Kenaikan PPN : Antara Kebutuhan Pemerintah dan Penderitaan Rakyat
Oleh : IMMawan Muhammad Aryawan Izzudin (Ketua Bidang Hikmah PK IMM Moh. Hatta 2024/2025)
Potret realita kondisi ekonomi indonesia dibalik kebijakan PPN 12 persen
Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persensudah tertuang pada Undang Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Pajak (HPP), per tanggal 1 Januari 2025 PPN akan naik menjadi 12 persen. Sebelumnya, atau kira-kira dua tahun lalu Pemerintah sudah pernah menaikan PPN. Dari yang tadinya 10 persen naik ke angka 11persen. Menteri keungan Sri Mulyani bakal mengantongi Rp 75 triliun di 2025 dengan adanya kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen, hal ini diungkapkan oleh Kepala Kebijakan Fiskal (BKF) Febrio Kacaribu. Tentu ini hal yang positif bagi negara ditengah gencarnya proyek strategis nasional (PSN) dan juga program kemanusiaan seperti makan siang gratis. Kalau kita melihat data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2023 kontribusi pajak terhadap pendapatan negara mencapai 80persen dari total pendapatan negara, penerimaan pajak didominasi oleh 3 jenis pajak, yaitu Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan Cukai. Dengan data tersebut memang langkah yang diambil pemerintah sudah tepat guna menjawab berbagai Proyek Strategis Nasional (PSN).
Stimulus Ekonomi menjawab kesulitan masyarakat
Direktorat Jendral Pajak (DJP) menyampaikan, kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen akan berlaku pada seluruh barang dan jasa yang selama ini dikenai tarif 11 persen. Namun, kenaikan PPN 12 persen itu dikecualikan terhadap beberapa barang kebutuhan pokok masyarakat, seperti minyak goreng curah “Kita”, tepung terigu, dan gula industri.
Pemerintah juga memberikan paket stimulus ekonomi untuk kurangi beban masyarakat, berbagai stimulus yang diberikan diantaranya insentif bagi Rumah Tangga, bagi masyarakat berpendapatan rendah akan diberikan berupa PPN ditanggung pemerintah (DTP) sebesar 1 persen dari kebijakan 12 persen untuk Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting (Bapokting) yakni minyak kita, tepung terigu, dan gula industri. Selain itu, pemerintah juga merancang bantuan pangan berupa beras sebesar 10 kg selama dua bulan (Januari-Februari), pemerintah juga akan memberi diskon biaya listrik sebesar 50 persen bagi pelanggan listrik dengan daya listrik terpasang hingga 2.200 VA selama dua bulan (Januari-Februari). Dan berbagai insentif lainnya yang dapat diakses di web resmi Kementrian Keuangan.
Realita kondisi ekonomi masyarakat
Menurut data dari kementrian ketenagakerjaan hampir 80.000 orang terkena PHK per tahun 2024. Hal ini berimbas pula dengan tingkat pengangguran yang mencapai 7,5 juta orang. Terlebih lagi 5 bulan berturut turut indonesia mengalami deflasi, akantetapi daya beli masyarakat masih menurun karena imbas ekonomi yang menurun. Hal ini yang seharusnya menjadi pertimbangan pemerintah dalam menjalankan suatu regulasi. Sebagai negara demokrasi sudah sepatutnya kedaulatan dan kesejahteraan rakyat menjadi poin penting dalam memutuskan sebuah kebijakan. Mirisnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartanto mengatakan pemerintah hanya menjalankan amanat undang undang. Secara konsep negara demokrasi ketika suatu kebijakan itu ternyata akan memperburuk kondisi masyarakat, maka harus dipertimbangkan atau kebijakan itu bisa dirubah agar memprioritaskan kesejahteraan rakyat.
Pemerintah memang memberikan berbagai stimulus ekonomi sebagai jaminan sosial bagi masyarakat kelas menengah kebawah, akan tetapi stimulus yang diberikan hanya bersifat temporer, pemerintah tidak mempertimbangkan aspek lain yang belum teratasi seperti tingkat PHK dan pengangguran yang meningkat signifikan. Terlebih lagi kelas menengah di Indonesia relatif menurun, menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah kelas menengah di Indonesia pada tahun 2024 adalah 47,85 juta jiwa, atau 17,13 persen dari jumlah penduduk nasional. Jumlah ini menurun dibanding dengan tahun 2021 yakni 53,83 juta jiwa. Secara data yang ada, kondisi ekonomi Indonesia sedang tidak baik baik saja. Lalu kenapa pemerintah tidak memperhatikan aspek ini, yang seharusnya menjadi perhatian khusus.
Terlebih lagi kenaikan PPN 12 persen tidak dibarengi dengan kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP). Di ASEAN PPN negara kita tertinggi, tapi rata rata UMP negara kita terendah kisaran Rp 3,1 juta. Artinya masyarakat akan sangat terpuruk dan kesulitan. Belum lagi jumlah penduduk miskin yang masih mencapai 25,22 juta jiwa per maret 2024 menurut data BPS. Dari data data tersebut seharusnya pemerintah lebih bijak dalam memutuskan, karena mau bagaimanpun kenaikan PPN 12 persen akan berimbas pada masyarakat kelas menengah kebawah dengan pendapatan yang masih stagnan bahkan menurun.
Dampak kebijakan kenaikan PPN menjadi 12 persen
Salah satu dampak yang paling mungkin terjadi dari kebijakan kenaikan tarif PPN 12 persen adalah potensi inflasi yang tinggi pada tahun depan. Center of Economics and Law Studies (Celios) memperkirakan kenaikan PPN 12 persen akan mengakibatkan kenaikan inflasi hingga ke level 4,11 persen. Sebagai catatan, inflasi per November 2024 tercatat sebesar 1,55 persen (year-on-year/yoy). Celios juga menghitung kenaikan PPN dan potensi inflasi akan mengakibatkan kelompok masyarakat miskin mengalami kenaikan pengeluaran sebesar Rp 101.880 per bulan atau Rp 1.222.566 pertahun. Sementara masyarakat kelas menengah akan mengalami kenaikan pengeluaran sebesar Rp 354.293 perbulan.
Bagi masyarakat miskin, kenaikan ini akan amat sanggat mencekik. Karena sebagian besar pengeluarannya sudah digunakan untuk kebutuhan pokok, tambahan biaya ini mempengaruhi kebutuhan lainnya seperti pendidikan dan kesehatan. Maka dapat dipastikan masyarakat akan lebih korektif bahkan akan sampai pada taraf penurunan daya beli yang signifikan. Penurunan daya beli tentunya akan mempengaruhi konsep kegiatan ekonomi.
Para pengusaha dan UMKM juga akan dilematis dengan kenaikan PPN ini, karena dalam penetapan harga suatu produk itu perlu adanya pertimbangan dari komponen komponen yang ada dalam proses produksi, dengan kenaikan PPN pastinya harga produk akan naik juga mengikuti bahan baku yang terkena PPN. Kenaikan harga barang yang terus menerus dalam jangka waktu lama, akan sangat mencekik masyarakat kelas menengah kebawah.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) penduduk indonesia berusia 15-24 tahun yang menganggur memiliki risiko lebih tinggi terlibat dalam kegiatan kriminal. Data Polri tahun 2022 menunjukkan 30,4 persen kasus kriminal terjadi akibat kemiskinan dan pengangguran. Artinya kemiskinan dan pengangguran akan mempengaruhi tingkat kriminalitas yang ada. Terlebih lagi kenaikan PPN akan mengakibatkan kenaikan harga secara menyeluruh, hal ini akan menaikkan potensi kriminalitas bertambah.
Maka sejauh mana pemerintah sudah mempertimbangkan hal ini, kenyataannya pemerintah mengakui sendiri bahwa kenaikan PPN ini akan berakibat buruk bagi masyarakat luas, hal ini terbukti pemerintah menawarkan berbagai stimulus ekonomi. Artinya pemerintah sudah tahu bahwa regulasi yang mereka bawa akan berimbas bagi masyarakat luas. Terlebih lagi stimulus yang mereka berikan hanya bersifat temporer, karena kesulitan masyarakat hanya ditopang selama dua bulan saja. Selebihnya masyarakat menengah terutama masyarakat miskin perlu survive sendiri. Masyarakat harus tertatih tatih dalam bertahan hidup demi egosentris oligarki yang utopis. Mereka mengharapkan rakyat kecil dapat ikut andil dalam mimpi mimpi mereka, akan tetapi mereka lupa bahwa mimpi mimpi mereka dapat merenggut kemampuan rakyat kecil dalam berkontribusi.
Disabilitas Intelektual
Melihat beberapa data, undang undang, bahkan berbagai statement pemerintah melalui menteri yang ada. Pemerintah akan tetap menaikkan PPN menjadi 12 persen. Dengan berbagai alasan seperti menjalankan amanat undang undang, pemerintah akan memberikan stimulus ekonomi dan sebagainya. Yang menjadi pertanyaan adalah seberapa mengerti dan paham pemerintah terhadap undang undang dan realita ekonomi masyarakat. Seberapa jauh pemerintah sudah mempertimbangkan sehingga kepentingan rakyat itu tetap diprioritaskan. Dan seberapa mengerti pemerintah terhadap dampak apa yang akan terjadi jika regulasi tersebut benar benar diterapkan. Kalau melihat realita keputusan pemerintah kemudian disandingkan dengan data kondisi ekonomi masyarakat maka dapat disimpulkan ini termasuk disabilitas intelektual kecacatan dalam berfikir, kecacatan dalam mengambil sebuah keputusan. Seharusnya sekelas menteri dengan berbagai latar belakang yang berpendidikan dapat membuat sebuah keputusan yang tepat, sehingga keadilan itu akan tercapai dengan nyata.
Kalau kita melihat dalam Undang Undang Nomor 7 pasal 7 ayat 3 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Pajak (HPP) “Tarif Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diubah menjadi paling rendah 5% (lima persen) dan paling tinggi 15% (lima belas persen)”. Artinya undang undang penetapan PPN 12 persen per 1 januari 2025 masih bersifat fleksibel. Dengan melihat undang undang yang masih fleksibel kemudian disandingkan dengan realita ekonomi masyarakat yang sudah dipaparkan, seharusnya pemerintah tidak keras kepala untuk tetap menaikkan PPN. Dengan sikap seperti itu maka sudah pasti kenaikan ini tidak didasarkan pada kepentingan masyarakat luas, terlebih lagi masyarakat menengah kebawah. Lalu untuk siapa pemerintah menetapkan hal itu dan apa tujuannya. Yang sudah terlihat adalah berbagai Proyek Strategis Nasional (PSN) salah satunya proyek IKN dan juga program makan siang gratis. Anggaran IKN yang terbilang fantastis ditengah keterpurukan masyarakat adalah keputusan yang tergesa gesa, karena percuma pembangunan berlebih hanya pada satu daerah, terlebih lagi pembangunan itu dari nol, dimulai dari pergusuran lahan yang penuh kontroversi. Hal ini akan semakin memberikan ketimpangan dan kesenjangan yang jelas.
Maka keputusan untuk menaikkan PPN menjadi 12 persen termasuk keputusan yang amat buruk bagi masa depan masyarakat negara dan bangsa Indonesia. Lalu apa yang bisa dilakukan sebelum pergantian tahun ini. Pemerintah dapat meninjau ulang kemudian membatalkan kenaikan tersebut karena mengingat undang undang yang masih fleksibel, dengan cara membuat peraturan pemerintah kemudian disampaikan ke DPR untuk dibahas, atau yang lebih cepat, karena mengingat sudah hitungan hari tahun akan berganti, pemerintah dapat membuat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perppu) untuk membatalkan kenaikan PPN menjadi 12 persen, karena Perppu setara dengan undang undang dan dapat berjalan terlebih dahulu hingga sidang DPR selanjutnya yang nantinya akan dibahas melalui Rancangan Undang Undang (RUU), hal ini tercantum pada UUD 1945 pasal 22.
“Apabila usul ditolak tanpa ditimbang, suara dibungkam, kritik dilarang tanpa alasan, dituduh subversif dan mengganggu keamanan, maka hanya ada satu kata LAWAN!!”
-wiji thukul
Fastabiqul khairat, Abadi perjuangan, La luta continua
Komentar
Posting Komentar
Wajib komentaar, neng ojo saru-saru.