ARTIKEL RTL SEKPOL - BERAS JADI PEMBAHASAN MASALAH KLASIK EKONOMI
Beras yang Menjadi Pembahasan Masalah Klasik Ekonomi Indonesia
Oleh :
Ada
apa dengan kondisi pertanian di Indonesia, kenapa bisa ironis? Perlu kita tahu
bahwa sebagian beras yang kita konsumsi tiap hari, sebagian sumbernya bukan
dari hasil panen para petani kita, melainkan impor alias beli dari luar negeri.
Padahal Indonesia terkenal sebagai negara agraris yang luas dan subur, tetapi
beras saja yang menjadi bahan makanan pokoknya memilih untuk impor.
Negara
Indonesia mempunyai 26,3 juta hektar lahan subur untuk lahan pertanian dari
total wilayah daratan Indonesia. Kalau kita lihat dari sisi potensi pertanian
di Indonesia harusnya para petani bisa hidup sejahtera, tetapi ironisnya
kesejahteraan petani justru terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun dan
sejak tahun 2000 negara kita sudah menjadi importir beras. Alasan negara ini
menjadi net importir, padahal komoditas yang diimpor bisa ditanam dan
dibudidayakan di negara ini, sebetulnya akar masalahnya beragam untuk setiap
komoditas tetapi masalah tersebesarnya yaitu produksi beras dalam negeri masih
tidak cukup untuk kebutuhan konsumsi 278,69 juta penduduk Indonesia. Salah satu
alasan Bulog melakukan impor beras adalah untuk menjaga stok beras di gudang
yang hampir menipis. Menurut aturan Bulog harus punya minimal 1 juta ton
cadangan beras tetapi serapan Bulog untuk beras dalam negeri itu tidak bisa
optimal dan ujung-ujungnya terpaksa harus impor dari luar. Alasannya karena
beras gabah kita mutunya belum sesuai standar dan mengandung banyak kadar air
yang terlalu tinggi.
Kebijakan
impor beras ini syarat akan muatan bisnis dan kepentingan politik yang
mengabaikan nasib rakyat kecil, khususnya petani. Indikasinya pertama bahwa
stok pangan cukup sampai akhir tahun. Impor beras ini jelas hanya untuk mengejar
keuntungan bagi pengusaha 'hitam' yang tidak mengerti nasib petani.
Amburadulnya kinerja Bulog ditutupi dengan pangan cukup dari impor. Logikanya
jika kinerja jelek maka Bulog harusnya tahu diri dan memperbaiki diri melalui
penyerapan gabah petani, bukan menguntungkan petani luar negeri. Revitalisasi
Bulog menjadi pilihan tepat melihat kinerjanya selama ini. Isu kenaikan inflasi
yang ditakutkan oleh pemerintah hanyalah strategi untuk memutuskan impor beras.
Justru dengan impor beras ini maka harga beras petani dalam negeri akan anjlok
dan membuat makro ekonomi di lokal menjadi lesu. Petani akhirnya membeli beras
dengan harga tinggi, karena spekulan beras menyimpan beras sampai menunggu
kenaikan harga. Kondisi diatas menguatkan bahwa beras sebagai alat politik yang
sering salahgunakan untuk melahirkan kemiskinan berikutnya. Akhirnya kita hanya
melihat drama beras politik ini sebagai skenario negara maju untuk terus
menjadikan negara Indonesia sebagai 'sampah' besar bagi produk pangan dan
telanjangnya kebobrokan manajemen pangan nasional yang membawa korban petani
dan rakyat miskin di pedesaan.
Masalah
dari kebutuhannya yang tinggi dan produksinya rendah harusnya nilai
komoditasnya jadi mahal. Dengan komoditas yang mahal, seenggaknya para petani
bisa mendapat untung tetapi kenyataannya rata-rata profit margin tanaman pangan
di Indonesia kecil karena produksi petani tidak efisien dan kalah murah jika
dibandingkan produk impor yang kualitasnya sama. Hal tersebut dikarenakan
sistem distribusi dan pemasaran produk pertanian yang tidak efisien sama
sekali. Misalkan kita bayangkan saja antara petani sampai ke konsumen akhir itu
bisa ada 5 sampai 6 perantara yang membuat harga di setiap levelnya menjadi
mahal mulai dari penanda, penggiling, pedagang grosir terus masih lanjut lagi
ke pasar induk, pengecer, lalu barulah sampai ke konsumen akhir. Tetapi
reseller yang menjadi perantara bisa sampai sepanjang itu, pantas saja petani
jual harganya murah, tetapi kita sebagai konsumen belinya harus mahal. Hal itu
dikarenakan petani masih bergantung sama jasa tengkulak yang membeli produk
mereka ketika panen dengan harga murah, lalu dijual sebagai perantara dengan
harga yang besar.
Keberadaan
tengkulak ini memang sering dipandang negatif karena mereka sering meminjamkan
modal kepada petani dengan beban bunga yang tinggi dan ujung-ujungnya mereka
juga yang mengambil hasil produksi petani dengan harga murah. Fakta di lapangan
tengkulak inilah yang berani menjemput bola, dengan mendatangi petani langsung
sambil membawa truk besar waktu musim panen. Buat para petani yang tidak punya
kendaraan dan juga kesulitan untuk penjualan produknya ke pasar. Tengkulak juga
berani ngeborong semua hasil panen para petani berapa pun skala produksinya.
Namun faktor para petani sering kali terjerat hutang, pada dasarnya tengkulak
inilah yang berani meminjamkan uang ke petani untuk mulai proses pertanian,
jadinya petani wajib menjual hasil panennya ke tengkulak yang sudah dipotong
bunga pinjaman modal. Jadi di sini ironisnya di satu sisi tengkulak menjadi
pihak yang selalu membantu petani untuk menyerap hasil panen, tetapi di sisi
lain mereka juga yang mengeksploitasi petani dengan hubungan tinggi atau harga
jual yang rendah sampai profitnya itu kecil untuk para petani. Salah satu
masalahnya dari hal tersebut adalah keterbatasan akses pemodalan atau pendanaan
buat para petani supaya bisa berjalan secara mandiri. Buat kita yang mungkin
sebagian besar tinggal di kota, mungkin kita bisa dengan gampang untuk
mendapatkan akses dan pinjaman kredit atau penyimpanan modal usaha dengan
jaminan tertentu ke pihak bank, tetapi para petani itu sedikit yang punya akses
ke bank dan di sisi lain masih sedikit juga bank yang berani menyalurkan
kredit.
Bank
tidak berani memberi modal ke petani karena pihak bank juga masih khawatir
dengan tingkat potensi kegagalan panen yang ujung-ujungnya bisa membuat kredit
macet dan juga risiko gagal bayar. Memang faktanya memprediksi produksi
pertanian itu tidak bisa semudah memprediksi produksi manufaktur pabrik. Ada
banyak faktor dari kondisi alam seperti banjir, kekeringan, sampai hama wereng
yang selalu jadi momo pertanian kita. Selain itu pihak bank juga biasanya butuh
aset yang bisa dijadikan jaminan jika terjadi gagal bayar yang mana biasanya
jaminan asetnya itu berupa sertifikat tanah. Mungkin banyak yang mengira kalau
para petani punya lahan pertanian yang luas, tetapi pada kenyataannya banyak
sekali petani yang tidak punya sertifikat tanah, jadinya mereka tidak punya
apa-apa buat dijadikan jaminan ke bankl.
Berdasarkan
data konsorsium pembaruan agraria tahun 2016 ada 28 juta pertanian statusnya
enggak punya tanah dan kalaupun ada penyaluran kredit buat petanian 80% dari
kredit itu cuma terpusat ke perkebunan skala besar saja. Padahal 75% pertanian
kita adalah petani kecil yang kepemilikan lahannya itu cuma setengah hektar.
Sebenarnya ada juga kredit usaha rakyat yang menawarkan pinjaman ke petani
kecil dengan bunga rendah dan tanpa agunan, tetapi proses administrasi dan
seleksinya itu akan lebih ketat karena tentunya bank juga tetap ingin mencari
aman yang mana peminjaman juga harus lewat pihak yang berperan sebagai penjamin
kalau pertanian ini gagal bayar. Sedangkan para petani sendiri itu tidak
familiar dengan mekanisme ini dan sedikit yang tahu kalau peminjaman tersebut harus
lewat pihak peminjaman dan akhirnya mau tidak mau para petani itu balik lagi
bergantung kepada para tengkulak atau rentenir yang bisa menyediakan peminjaman
dengan cepat.
Secara
kompleksnya masalah ekonomi yang dialami para petani mulai dari pemodalan,
penjualan ke akses pasar, bahkan faktor alam juga yang menambah beban para
petani. Dengan adanya potensi besar tetapi sistemnya masing-masing sayangnya
tidak banyak generasi muda di Indonesia yang memilih nekuni bidang pertanian
berdasarkan catatan pemerintah 71% pertanian Indonesia itu berusia lebih dari
45 tahun dan dari tahun ke tahun semakin sedikit tenaga kerja yang turun ke
sektor pertanian.
Solusi masalah dari hal tersebut salah satunya akses petani ke pusat pemasaran dan juga pemodelan di mana petani itu bisa dapat modal sekaligus pembinaan dan juga akses supaya mereka bisa langsung jual ke konsumen akhir. Selain itu, peningkatan infrastruktur penghubung antar desa di Indonesia masih dibilang belum optimal entah itu jalanan antar desa saluran telepon internet atau akses keuangan jika infrastruktur jalan dan sarana transportasi antar desa sudah bagus, harapannya ini bisa memangkas biaya transportasi dan juga ongkos kirim petani yang mau jual hasil panennya ke pasar. Begitu juga dengan ketua produksi petani seperti pupuk dan juga peralatan yang bisa didistribusikan dengan biaya murah jadinya para petani tidak perlu lagi untuk terlalu bergantung sama tengkulak. Nah solusi yang terakhir tentu saja peningkatan kualitas sdm petaninya berdasarkan data yang dirilis BPS cuma 0,3% saja petani yang punya pendidikan tinggi di Indonesia sisanya didominasi pendidikan rendah bahkan tidak sekolah, padahal tiap tahun ada ribuan sarjana di bidang pertanian yang lulus kuliah tetapi mayoritas lebih milih berkarir di sektor lain, padahal ketika anak muda berpendidikan tinggi mau terhubung ke pertanian mereka terbukti mampu memberdayakan para petani dan membawanya sampai untuk besar untuk membangun masa depan pertanian Indonesia.
Komentar
Posting Komentar
Wajib komentaar, neng ojo saru-saru.