Ruang Bebas bagi Perempuan

 Ruang Bebas bagi Perempuan

Oleh : IMMawati Eka Pratiwi

(Anggota Bidang RPK PK IMM Moh. Hatta 2021/2022)

        Orang bilang ini hanya cerita yang bisa dikarang siapa saja, orang juga bilang ini hanya sekedar artikel yang dikumpulkan dari berbagai macam sumber tertulis, pun, orang juga bilang ini sekedar puisi yang dibuat sore hari ditemani secangkir kopi. Namun, bagi saya, ini sebagai pemandangan sehari-hari. Di sini banyak gadis kecil yang dicuri hak kanak-kanaknya, beberapa anak dilucuti dari pendidikannya karena ekonomi, sebagian lagi direnggut impiannya karena pertimbangan pantas atau tidak pantas.

        Orang-orang dapat berkata apa saja sesuai pemikiran mereka, orang-orang berhak memberikan nama permasalahan ini dengan cerita, artikel, puisi, bahkan derama. Namun, permasalahan ini nyata bagi saya, begitu dekat dengan diri saya, dengan hati saya.  

        Sebelumnya, tanpa mengurangi rasa hormat perkenankan saya mengajukan pertanyaan. Bebas, setiap kali ada kata kebebasan, apa yang terlintas dalam benak? Dada terasa lapang, paru-paru dapat merasakan bersihnya udara serta kesegarannya. Bukan berarti dada kosong melompong tanpa organ, akan tetapi organ yang berada didada dapat berfungsi dengan maksimal tanpa tersumbat. Sangat sederhana, namun, apa hal sederhana ini mampu dimengerti dengan mudah oleh semua kepala? Saya rasa tidak.

        Kebebasan sebagai bentuk kemerdekaan bagi perempuan kian dibatasi dengan pandangan baik dan buruk sesuai keyakinan masyarakat, banyak kepala percaya bahwa memberikan kebebasan bagi perempuan sama dengan merubah letak jatung ke tenggorokan. Sulit, tidak benar, dan mustahil. Di kota-kota besar, banyak dijumpai perguruan tinggi dengan perempuan yang bangkit serta berhasil membuktikan keberadaannya layak untuk diperhitungkan. Bersama perguruan tinggi kecerdasan dan kepiawaian perempuan turut berkontribusi terhadap pembangunan, disertai perempuan-perempuan yang menggaungkan emansipasi. Akan tetapi, bagi desa-desa kecil permasalahan ini masih menjadi ancaman.

        Satu-satunya yang dapat memberikan kemerdekaan bagi perempuan adalah pendidikan, dengan belajar dapat melahirkan pemikiran positif serta kematangan emosi. Dengan belajar pulalah setiap orang dapat melatih daya analisis, apabila setiap perempuan menemukan pendidikan dalam kehidupannya pastilah perempuan tidak memerlukan bantuan siapapun untuk mendapatkan hak dan meraih impian-impiannya.

        Kerap kali belenggu stigma masyarakat merantai kaki perempuan untuk mendekati pendidikan, andaikan dalam setiap keluarga terdapat perempuan bijaksana, status quo ini akan perlahan hilang. Bahkan cita-cita kakek semar untuk membangun kayangan akan segera terwujud.

        Namun dianggap sebagai fatamorgana pemikiran kolot dan terbelakang pada masyarakat itu nyata, sesuai data Badan Pusat Statistika (BPS) 2020 anak muda kelompok pengeluaran terendah lebih cepat menikah dibandingkan anak muda dari kelomop pengeluaran tertinggi. Perkawinan di bawah 22 tahun didominasi oleh kelompok pengeluaran rumah tangga 40 persen terbawah, dengan presentase sebesar 65,73%. Sementara 20 persen teratas didominasi oleh pemuda yang memiliki usia perkawinan rentan usia 22-30 tahun, sebesar 65, 41%. Pada Mei2021 diterbitkan oleh media KOMPAS.com Indonesia menduduki peringkat ke-2 di ASEAN dan peringkat ke-8 di dunia untuk kasus perkawinan anak.

        Layaknya sungai tercemar yang akan membuat pohon dan tumbuhan disekitarnya mengering kemudian mati, seperti itu pula pemikiran tanpa sentuhan pendidikan. Menjamah dan membaur dengan masyarakat menjadi proyek raksasa bagi relawan kemanusiaan, untuk menyalurkan apa yang sudah didapatkan dari buah pendidikan serta memberikan kemerdekaan bagi yang terbelenggu. Proyek ini tidak dapat selesai dengan cepat karena berbentur dengan kondisi sosial serta ekonomi masyarakat, proyek ini juga akan merubah hal lumrah dalam masyarakat jadi kesabaran serta ketelatenan harus dibekalkan dalam diri relawan kemanusiaan.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Profil IMM KOM. MOH. HATTA