Objek Eksploitasi Bersumber Pada Egosentrisme_IMMawan Rian Pratama (Ketua Bidang Hikmah PK IMM Moh. Hatta 2020/2021)


Objek Eksploitasi Bersumber Pada Egosentrisme

Margasari Kuala Penet adalah salah satu desa terpencil yang berada di Lampung kabupaten lampung Timur, daerah pesisir yang sebagian besar penduduknya bermata pencarian sebagai nelayan. Ini adalah desa yang memiliki bayak sekali sumber daya alam yang dapat di manfaatkan oleh masyarakat. Alam selalu memberikan segala bentuk kelimpahan rahmatnya kepada penduduk desa ini. Wilayah yang berada di pesisir pantai memberikan banyak sekali kelebihan sumber daya alamnya panorama alam yang memukau, tumbuhan pepohonan bakau yang terpajang memanjang di sepanjang bibir pantai yang melindungi pemukiman penduduk dari desuran ombak secara langsung dari laut, serta bebatuan alam yang kini di bangun memanjang sebagai penghalang ombak dan di sebagian bibir pantai terlihat menjuntai dari kejauhan.

Wilayah pantai selalu memberi kesan tersendiri yang di beri Tuhan kepada kita segala kekayaan dan kearifan lokal yang terdapat di dalamnya seolah melengkapi keindahannya. Kemajemukan suku yang berada di wilayah pepsisir pun sangat beragam, mulai dari suku seperti Suku Lampung, Suku Jawa, Suku Sunda, Suku Padang, Suku Batak dan Suku Bugis yang di kenal dan di juluki sebagi suku nelayan, karna memang sangat pandai dalam berlayar dan mencari ikan. Kemajemukan ini sudah hidup dan tumbuh dengan subur sejak berpuluh-puluh tahuh yang lalu, toleransi yang mereka pegang teguh hingga sekarang seolah memberi pelajaran bahwa sejatinya hidup memang harus berbeda antara satu dengan yang lain serta sebagai pelengkap dalam berkehidupan.

Belakang sejak tahun 2016 terdapat kegiatan baru yang bermunculan di lingkungan mansyarakat, banyaknya mobil-mobil truk yang berseliweran di jalan-jalan desa yang memuat pasir-paris hasil galian. Kemunculan penambangan pasir yang di percaya sebagai penambangan illegal oleh masyarakat sangat meresahkan dan di nilai merugikan masyarakan dan terutama lingkungan. Penggalian pertama di mulai di desa Sukorahayu, desa yang tidak terlalu padat penduduk dan masih sangat luas lahan kosong yang berada di desa tersebut. Penambangan di mulai di lokasi sekitar muara yang berhulu langsung ke laut lepas. Tanah yang berpasair dimana tanah ini bernilai ekonomis, berguna sebagai bahan konstruksi bangunan.

Daerah ini dinilai memiliki daya tawar dan harga jual yang begitu tinggi dan banyak masyarakat yang terpengaruh sehingga beralih profesi sebagai penambang pasir. Akibatnya semakin meningkatnya jumlah penambang pasir dan lubang tambang galian pasir semakin bertambah. Di PT 55 yang akrab disebut masyarakat, PT ini sebagai pelopor adanya pembangan pasir yang masif di desa Margasari pemabangan yang sudah di mulai sejak tahun 2000-an ini sudah menghasilkan banyak lubang hasil tambang yang di biarkan begitu saja. Penambangan yang sebagian besar berada di dekat muara atau kali menyebabkan terkikisnya tanah yang membatasi antara galian tambang dengan muara atau kali yang saling berdekatan itu. Bahkan kedalaman tambang pasir ini bisa mencapai 8m sampai 13m setiap galian lubangnya.

Munculnya Kesadaran Masyarakat Akan Penting Menjaga Lingkungan

Semakin banyak dan maraknya penyedotan pasir didaerah tersebut membuat lingkungan menjadi rusak dan mengalami kelengsoran di area tambang di sekitar muara desa Sukorahayu. Mulai timbulnya perlawanan dan pertentangan dari masyarakat memicu adanya perlawanan untuk memberhentikan segala bentuk penambangan pasir. Keresahan dan perlawanan ini muncul akibat maraknya penebangan pohon serta semakin banyaknya galian bekas tambang yang di biarkan begitu saja tanpa ada tanggung jawab, tak jarang lubang hasil galian tambang ini menimbulkan korban jiwa. Biasanya korban jiwanya adalah anak-anak yang bermain dan berenang di area galian pasir. Penumbuhan kesadaran masyarakat dirasa sangat penting, mengingat semakin tua usia bumi ini, apabila kita tidak dapat menjaganya dengan baik, bukan hal tidak mungkin alam akan murka pada manusia yang selalu mengeksploitasi tanpa batas.

Sengketa Tanjung Sekopong

Konflik atau sengketa tambang pasir ini memuncak pada tahun 2016 lalu, dipicu oleh munculnya PT Sejati 555 Sampurna Nuswantara (SSN). PT ini datang dan mengelabuhi masyarakat di pesisir yang sebagian besar berprofesi sebagai nelayan. PT 555 yang kerap di sebut masyarakat mengelabuhi dengan dalih ingin melukan upaya pendalaman sungai dan laut. Setelah kegiatan PT555 berlangsung ternyata yang di lakaukan adalah melakukan kegiatan penyedotan pasir di wilayah perairan Tanjung Sekopong dan Kuala Penet (Nama desa). Sontak saja maasyarakat merasa kecewa dan merasa ditipu, kemudian warga mendesak pemerintah daerah setempat untuk mencabut perizinan penambangan laut yang di kelola oleh PT 555 tersebut. Sempat sekali waktu warga desa Kuala Penet berbondong-bondong mendatangin langsung tempat kegiatan penambangan yaitu di perairan Sekopong dan menggiring kapal Tongkat yang sedang beroprasi untuk segera menghentikan kegiatan penyedotan pasir dan di minta untuk segera meninggalkan perairan tempat penambangan berlangsung. Sempat terjadi cekcok antara ABK kapal dan para nelayan yang bersikeras mengusir kapal Tongkang tersebut.

Masyarakat pesisir sebagian besar tidak memiliki lahan yang luas untuk membangun rumah atau bahkan bercocok tanam. Laut adalah lahan sekaligus ladang yang mereka miliki, mereka gunakan untuk menanam rumput laut dan mencari ikan. Laut adalah satu-satunya ladang harapan yang mereka miliki. Belum lagi, semakin tahun semakin sedikit populasi ikan yang berada di laut lepas di tambah adanya penambangan atau penyedotan pasir di pesisir laut akan berdampak langsung pada ekosistem laut, ditambah lagi menurunnya tingkat pendapatan ikan yang menyebabkan ekonomi masyarakat pesisir yang berprofesi sebagai nelayan menurun. Jika ini di biarkan terus menerus akan berakibat terjadinya abrasi di wilayah pantai dimana abrasi adalah suatu proses pengikisan pantai yang diakibatkan oleh tenaga gelombang air laut dan arus laut atau pasang surut air laut yang bersifat merusak. Abrasi ini biasanya di sebut juga erosi pantai kerusakan garis atau bibir pantai ini biasanya diakibatkan oleh terganggunya keseimbangan alam daerah pantai.

Etika Lingkungan

Dalam mitologi Yunani bencana alam adalah kemarahan atau kegaduhan dari para dewa yang senantiasa memusuhi manusia, mitos inilah yang berkembang di barat yang membuat manusia selalu merusak alam untuk membalas dendang kepada pawa dewa. ItulaH mengapa tingkat keegoisan manusia menjadi penyebab utama kerusakan lingkungan. Teori ini menguat karan manusia memiliki akal dan menjadi makhluk yang sempurna dari seluruh ekosistem. Oleh sebab itu segala sesuatu halal dan sah dilakukan asalkan memberi manfaat kepada manusia tanpa memandang makhluk hidup yang lainnya.

Keresahan manusia yang membelenggu akal dan pikiran menyebabkan hilangkan etos ilmu dan alam sebagian dari ilmu. Dengan adanya pengikisan itulan mengapa alam menjadi barang yang tidak berharga atau tidak ada harganya, seolah hanya sebatas benda mati yang tak berharga. Alam dan manusia adalah satu kesatuan yang tidak dapat di pisahkan satu sama lain karena saling membutuhkan. Manusia membutuhkan bumi untuk berpijak dan menuai hasil makanan dari dalamnya tak terkecuali dengan pasir yang kini di ambil dari dalam bumi tanpa memberi ampun pada bumi dan membabi buta tanpa ampun. Pasir dalam hal ini adalah salah satu sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui apabila sumber daya alam yang berupa pasir ini di eksploitasi secara terus menerus dan secara masal serta berlebihan yakni melebihi batas maksimal penggunaan manusia bukan hal tidak mungkin jika di masa yang akan datang akan terjadi kepunahan.

Dewasa ini manusia berbondong-bondong melakukan berbagai cara atau inovasi dalam segi teknologi. Pengembangan ini guna mendukung kegiatannya dalam mencapai pasar bebas dan pasar kapitalis yang lebih luas. Secara tidak langsung ini berdampak pada rusaknya pola pikir manusia modern saat ini. Mengapa demikian, karena seolah teknologi menjadi candu tanpa penawar dan tanpa batasan. Semakin tak terbendungan sifat konsumtif manusia berdampak pada jiwa sosial dan jiwa kealamiahan manusia. Alam semakin dikesampingkan dan di anak duakan dalam kehidupan. Seolah manusialah yang menjadi objek atas tatanan tatasurya, padahal di sisi lain alam pun memiliki hak yang sama dengan manusia yang berposisi sebagai objek sekaligus subjek. Pemikiran yang kurang tepat jika menempatkan alam hanya sebagai objek, manusia memang terlalu egois dan tamak dalam hal ini pemikiran yang hanya berkutat pada kepentingan manusia.

Dari sifat konsumtif yang memunculkan sifat egosentrisme pada manusia yang secara tidak sadar mereka telah memperkosa alam dan bumi ini. Egosentrisme ini didasarkan pada keharusan individu untuk memfokuskan diri dengan tindakan yang dirasa baik pada dirinya. Ranah pemikiran ini dalam wujudnya dimana manusia merasa dirinya adalah yang paling benar dan berkuasa atas alam semesta. Contoh kecil dapat di ambil dari deskripsi di awal mengenai ekploitasi penambangan pasir yang menjamur di sepanjang tahun 2016 di Seda Margasari, Lapung Timur. Berbeda halnya dengan pulau sebelah yaitu Kalimantan, berdasarkan prediksi tren 10 tahunan dari luas pulau Kalimantan yang mencapai 59 juta hektar laju kerusakan hutan yang terjadi setiap tahunnya mencapai 864 ribu hektar pertahunnya atau sekitar 2,16% pertahunnya. Provinsi Kalimantan Selatan memiliki laju kerusakan yang paling cepat di bangdingkan dengan provinsi yang lain di Kalimantan meski luasnya yang relatif kecil. Tercatat sebanyak 66 ribu hektar hutan yang musnah pertahun dari total hutan yang ada di Kalimantan yaitu sekitar 3 juta hektar hutan.

Masuknya budaya luar juga mempengaruhi bahkan meningkatkan sifat konsumtif manusia masa kini. Kaliamntan Selatan yang dinilai memiliki banyak sumber daya alam baik batu bara dan hasil tambang lainnya kini di perkosa secara masal oleh para pemilik modal tanpa memperhatikan keadaan alam bahkan mentabrak nilai-nilai kearifan lokal yang ada di masyarakat. Yang sangat di sayangkan adalah hasil galian tambang yang di biarkan begitu saja tanpa ada tanggung jawab lebih baik perusahaan yang berskala besar maupun yang berskala kecil dan menengah. Akibatnya reklamasi pun hanya sekedar janji, padahal reklamasi adalah harga mati yang mana sudah di atur dalam Peraturan Mentri Energi Sumber Daya Mineral No 7 Tahun 20014 tentang pelaksaaan reklamasi, yang hingga kini masalah reklamasi masih menjadi sorotan dan topik pembahasan yang serius.

Sudah bukan hal yang awam bagi masyarakat bahwa Kalimantan merupakan pulau yang kaya akan hasil buminya. Keadaan sekarang pun tak dapat dipisahkan oleh sejarah yang mengikatnya di masa lalu, seperti tertuang dalam sejarah penambangan pertama kali di Kalimantan selatan yaitu di awali pada abad ke 19. Pada masa itu Belanda yang mengawali eksploitasi ini yang di sadari bahwa wilayan Kalimantan selatan memiliki potensi batu bara. Di mulailah eksplorasi dan eksploitasi ini yang di anggap sangat penting guna menunjang dan mendukung produksi industry di Eropa, serta dapat di gunakan sebagi bahan bakar pembuatan tekstil dan bahan baku dalam pembuatan benda-benda dari bahan logam bahkan berkembang hingga saat ini di negri tercinta kita ini Indonesia.

Eksploitasi agraria yang kini makin marak terjadi di bebrapa wilayah Indonesia khususnya di Lampung Timur dan Kalimantan Selatan. Egosentrisme yang menjadi sumber kehancuran bumi ini harus segera di reda agar bumi tidak benar-benar hancur atas ulah kita sebagia manusia. Bahkan Negara dalam hal ini sudah mengatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia nomor 5 tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria di dalam Bab I Dasar-Dasar dan Ketentuan Pokok dalam pasal 1 ayat 1 dan 2 yang berbunyi
1. Seluruh wilayan Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia
2. Seluruh bumi, air, dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.

Perlindungan atas hukum tidak berarti ekploitasi dapat di lakukan secara semena-mena. Negara memberi perlindungan sekaligus kebebasan serta memberi batasan-batasan yang sudah jelas dan tidak sepatutnya untuk di langgar. Namun yang terjadi di lapangan sebaliknya perampasan lahan, sengketa kepemilikan, kerusakan lingkungan seolah sudah menjadi pemandangan yang biasa. Jangan salahkan jika konflik antara masayarakat dan pihak perusahaan terjadi di mana-mana. Ini merupakan bentuk permintaan tanggung jawab yang sudah selayaknya menjadi hak masyarakat yang harus dipenuhi. Konflik ini tidak akan berujung jika hak-hak kelingkungan ini tidak terpenuhi. Bumi adalah bagian dari manusia dan manusia adalah bagian dari bumi itu sendiri.

Ditulis oleh:

IMMawan Rian Pratama
Ketua Bidang Hikmah
PK. IMM MOH. HATTA

Referensi:
Buku
• Undang-Undang Agraria penerbit pustaka Mahardika
• Novel bertamu dan bertemu karya bilik literasi
• Panduan Advokasi Wawasan Ekologi dan Ekofeminisme karya Al Bawi
Jurnal
• Tambang batu bara oranje Nassau Kalimantan Selatan
• Berita lampung timur Republika.co
• Berita lampung timur rmollampung.id

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Profil IMM KOM. MOH. HATTA