KONFLIK AGRARIA DALAM UU CIPTA KERJA_Pimpinan Bidang Hikmah IMM Moh. Hatta 2020/2021


KONFLIK AGRARIA DALAM UU CIPTA KERJA

Disusun Oleh :
Pimpinan Bidang Hikmah
IMM Mohammad Hatta Periode 2020/2021

“Tanah air adalah petak-petak yang harus diolah, tanah air adalah lautan yang harus dibelah” (Najwab Shihab)

RUU Cipta Kerja atau undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja ini pertama kali muncul dalam pidato pertama Joko Widodo setelah dilantik sebagai Presiden RI untuk kedua kalinya. Dalam pidatonya, Jokowi menyinggung sebuah konsep hukum undang –undang yang disebut omnibus law. UU Omnibus Law Cipta Kerja ini berisi 11 klaster yang menggabungkan 79 undang-undang yang di dalamnya menyangkut aturan tentang ketenagakerjaan, penyederhanaan perizinan, persyaratan investasi, hingga administrasi pemerintah yang di sahkan pada tanggal 5 Oktober 2020.

Undang-undang ini dimaksudkan untuk merampingkan regulasi dari segi jumlah, dan menyederhanakan peraturan agar lebih tepat sasaran akan tetapi omnibus law justru dinilai akan menimbulkan berbagai kekhawatiran, salah satunya mengenai agrarian di Indonesia sendiri. Isi omnibus law dinilai dari berbagai kalangan akademisi maupun peneliti dinilai condong ke pelaku usaha dan berpotensi makin menyulitkan pelaksanaa reforma agraria, yang dimana permasalahan agraria di Indonesia adalah ketimpangan penguasaan lahan dan konflik terus terjadi dan penyebab masalah ketimpangan agrarian adalah lembaga-lembaga korporasi berbasis agraria dan sumber daya alam seperti tambang , perkebunan sawit, industry pariwisata juga property sedangkan penyebab masalah ketimpangan itu sendiri adalah pemegang investasi .

Untuk menyelesaikan persoalan agraria tidak tepat dengan kehadiran investasi skala besar dan juga pengesahan UU Cipta Kerja menunjukkan, politik hukum berupaya memangkas regulasi dan menghilangkan seluruh hambatan investasi bias masuk ke Indonesia. Dengan asumsi, ekonomi Indonesia akan terpuruk kalau investasi tidak masuk. Kalau melihat politik hukum pengesahan UU Cipta Kerja justru memudahkan seluruh perizina investasi, padahal kalau melihat kondisi saat ini, dengan berbagai regulasi yang dianggap menghambat investasi pun praktik korupsi sumber daya alam dan agraria justru banyak terjadi dan juga menguatkan jejaring oligarki.

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyoroti sejumlah perubahan ketentuan dalam draf omnibus law Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja yang sedang dibahas DPR dan Pemerintah. Sejumlah perubahan ketentuan dinilai mengancam kelangsungan hidup petani, memperparah konflik agraria, memperbesar ketimpangan kepemilikan lahan dan praktik penggusuran demi investasi. Perubahan ini terkait izin konversi tanah pertanian ke non-pertanian, penambahan kategori umum untuk pengadaan tanah dan jangka waktu hak pengelolaan atas tanah. Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika mengatakan, ketentuan izin untuk konversi tanah pertanian ke non-pertanian makin dipermudah. Ketentuan ini terdapat dalam Pasal 122 angka 1 RUU Cipta Kerja, yang menghapus Pasal 44 ayat (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Menurut Dewi, perubahan tersebut dapat mempercepat alih fungsi tanah pertanian dan mengancam keberadaan kelompok petani. Dan diantara konflik agraria yang terjadi adalah penyusutan lahan pertanian Dengan perubahan tersebut, kata Dewi, pemerintah dan perusahaan tak memiliki kewajiban terkait syarat kajian kelayakan strategis, rencana alih fungsi tanah dan kesesuaian rencana tata ruang wilayah. Dampaknya, akan mempercepat terjadinya perubahan lanskap tanah pertanian terjadi secara cepat. Selain itu, kewajiban menyediakan tanah pengganti bagi petani juga terhapus. Termasuk menghapus kewajiban menyediakan tanah pengganti bagi petani terdampak Artinya, jika laju cepat konversi tanah pertanian ini tidak dihentikan, bahkan difasilitasi RUU Cipta Kerja, maka tanah pertanian masyarakat akan semakin menyusut. Begitu pun jumlah petani pemilik tanah dan petani penggarap akan semakin berkurang jumlahnya akibat kehilangan alat produksinya yang utama yakni, tanah. Mata pencaharian petani akan semakin tergerus.

Dan didalam fenomena agraria pemerintah saat ini yang lebih menyasar pada legalitas asset seperti sertifikasi tanah. Dengan sertifikasi lahan dan pembentukan bank tanah menunjukkan kebijakan agrarian di Indonesia dipandu pasar, selain itu pembentukkan bank tanah seperti upaya legalisasi makelar tanah yang dimana pemerintah seolah bertindak sebagai makelar tanah. Kalau merujuk pada UU pokok agraria disitu jelas menyatakan tanah itu punya fungsi social jadi tidak tidak boleh dijualbelikan dan tidak boleh dimodifikasikan. Jelasnya pula, polemik agraria ini termasuk ke dalam salah satu program kerja yang diusung pemerintahan Jokowi selama 2 periode masa kepemimpinannya dengan mengeluarkan istilah Reforma Agraria yang di. Kukuhkan pada Pepres No. 86 Tahun 2018. Dengan begitu, ketika UU cipta kerja ini disahkan substansinya berbanding terbalik dengan usungan program kerja kepemimpinannya. Menuurut Dosen Hukum Tata Negara Universitas Airlangga, bapak Herlambang berpandangan bahwa UU Cipta Kerja dianggap anti reforma agrarian. Disebabkan jauh dari adanya perbincangan struktur penguasaan dan kepemilikkan agrarian secara berkeadilan sosial.

Jika dibedah dalam UU Cipta Kerja (Omnibus Law), bahwasanya pada pasal salah satunya dalam UU yang bertujuan untuk direncanakan sebagai perlindungan dan pelayanan para investor kebutuhan jahat. Penanaman “Cipta Kerja“ hanya kedok mengelabui buruh, masyarakat, adat, masyarakat sipil hingga pencinta music Kpopers. Dimana polemic agraria ini, tidak hanya bermuara pada perkotaan namun menyangkut ruang tata hidup masyarakat desa, yang menjadi korban utama dalam polemic ini. Pada dasarnya UU Cipta Kerja hanyalah sebagai pengalihan lapangan pekerja yang sudah ada sebelumnya yang membedakan hanyalah kedaulatan dari kepemilikkan lapangan pekerjaannya saja. Dilanjut UU Cipta kerja telah melanggar pada pasal 33 ayat 3 dan 4 UUD 1945, mengenai kewajiban Negara atas sumber agrarian Indonesia agar dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat melalui demokrasi ekonomi. Akibatnya UU Cipta Kerja semakin menjauhkan rakyat dari cita-cita reforma agraria. Semangatnya bukan untuk memperbaiki ketimpangan struktur agraria, namun menjadi meradang dan berkecamuk.

Sampai saat ini, ada beberapa 5 catatan kritis mengenai permasalahan agrarian dalam UU Cipta Kerja. Sejak rancangan pengesahaan UU Cipta Kerja ini, banyak tuaian protes dari segenap masyarakat bahkan mahasiswa yang kontra terhadap UU Cipta kerja ini, dimana tuaian ini disimpulkan kedalam 5 catatan kritis. Pertama, RUU Cipta Kerja memuat sejumlah pasal yang sebelumnya masuk dalam RUU pertanahan. Dalam RUU tersebut adanya Hak Pengelolaan Lahan (HPL) yang mana hak ini memberikan jenis hak diatas tanah negara dengan HPL, pemerintah menghidupkan kembali domein verklaring yang berlaku pada masa colonial, dimana tanah yang belum dilekati hak merupakan tanah negara. Kedua, RUU Cipta Kerja akan memperburuk ketimpangan penguasaan tanah dan konflik agrarian karena memberi kemudahan dan prioritas bagi investasi dan kalangan pebisnis untuk mendapatkan hak atas tanah. Ketiga, RUU Cipta Kerja berpotensi meningkatkan perampasan, penggusuran, dan pelepasan hak atas tanah atas nama pengadaan lahan untuk kepentingan infrastruktur dan bisnis. Keempat, laju alih fungsi lahan pertanian semakin cepat. Jika seperti ini tidak diberhentikan maka perkiraan tanah pertanian masyarakat semakin menyusut serta jumlah petani pun turut berkurang sampai pada hilangnya alat produksi paling utama yaitu tanah. Dan Kelima, RUU Cipta Kerja memperbesar peluang kriminalisasi dan diksriminasi hak petani dan masyarakat adat. Bagaimana tidak, para tuan investor semakin melambung tinggi dan rakyar pribumi semakin tertindas.

Sampai saat ini, setelah tuaian protes yang disampaikan oleh masyarakat Indonesia maka UU Cipta kerja disahkan namun dengan beberapa revisi dengan atas masukan dari beberapa pihak terkhusus mahasiwa dan masyarakat. Hal ini bukan berarti dengan setelah pengesahan RUU Cipta Kerja dengan revisian, maka polemic agraria tidaklah mudah menyusut namun dengan adanya perubahan dan penghapusan pasal-pasal krusial didalam UU Cipta Kerja, insa Allah dapat meminimalisir dari kasus agrarian dan minimal dinamis sebelum adanya UU Cipta Kerja diciptakan. Alangkah bahayanya jika UU Cipta Kerja disahkan begitu kisruh dan chaos nya negeri ini dengan bertambah dan meningkatnya kasus agraria.

Oleh karena itu, sebagaimana yang digaungkan oleh pihak-pihak yang bersangkutan atas munculnya UU Cipta Kerja ini bahwasanya tujuan dari pembentukkan nya adalah sebagai wadah lapangan pekerja yang lebih luas dan berpotensi menciptakan 30 juta lapangan kerja baru bagi masyarakat Indonesia namun sebaliknya berpotensi menghapus 20 juta lapangan pekerjaan tradisional bagi masyarakat adat. Apabila negara berniat untuk melindungi dan memulihkan perkenomian negara serta menyembuhkan agraria adalah dengan mensahkan RUU Masyarakat Adat. Sebab UU tersebut merupakan UU yang diperjuangkan masyarakat adat selama puluhan tahun.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Profil IMM KOM. MOH. HATTA