Postingan

Menampilkan postingan dengan label literasi

Puisi - Lampau

Lampau Karya: Teguh Jairyanur Akbar “acap kali angin itu menerpa dengan badainya yang begitu keras,  kerap kali juga api itu membakar dengan baranya yang amatlah panas,  dan kian kali pula air itu menghempas dengan ombaknya yang sangatlah ganas,  begitu-pun aku, maksudku rindu ini,  rindu yang mendekap dan membaluti-ku kini, teramatlah nahas pikirku, ia menyelubungiku, mengerubungiku, setiap sepiku, di malam-malam dinginku, RINDU... dengarlah tanyaku, PUAS ? apakah kau sudah puas ? ayolah...  jawab... jawab tanyaku... aku sedang bertanya... betapa kurang ajarnya kau, kau buat aku mendekam, meringkuk, dan bahkan merengek, lalu setelah aku muak dan berdiri tegap lagak seorang kesatria, kau berlindung dibalik molek indah wanita itu, selalu saja seperti itu... SIALAN, dan sadarku, begitulah kamu, dan beginilah aku setelah denganmu, kiranya kini aku setuju dengan ujar-ujar suatu keindahan yang tak pernah lekang oleh waktu, aku membuktikannya pada dirimu, dan kamu menegaskan hal itu, kau jad

Puisi - Tak Kurayakan

  Tak Kurayakan Karya: Teguh Jairyanur Akbar Tidak ada perayaan hari ini Tidak ada keraguan untuk memaki hari-hari ini Tidak ada suka hanya duka Tidak ada kemenangan hanya kemalangan dan kesengsaraan           SEPTEMBER itu;  GELAP                                           HITAM                                           SURAM bulan yang penuh catatan merah, kerusakan, kehancuran, gelimpangan mayat, dan tumpahan darah. bulan yang mengukir ragam peristiwa tragedi [...] "ini ironi" kataku, "ini demi negeri" kata penguasa. bangsat... bangsat... bangsat... tangisan pecah atas kehilangan, rintihan getir atas ketidakadilan, jeritan pekik atas kesewenang-wenangan. tanpa belas kasih; mereka rampas hak kami, mereka renggut kepemilikan kami, mereka ranggas segala pengharapan kami, mereka membabi buta menggusur rumah-rumah kami, mengeruk hasil bumi kami, mengambil tanah-tanah kami, dan... kami dilarang bertahan, dilarang melawan, dilarang bersuara, dilarang melihat dan merasa..

Puisi - Aku Mengutuk Mereka

  Aku Mengutuk Mereka Karya: Teguh Jairyanur Akbar kurenungi kembali perjalanan yang telah lalu kucermati hari-hari penuh renjana dan benalu kutapaki tiap titihannya dengan ragu yang kian mebelenggu bencana nalar yang kian nyata meratapi tubuh-tubuh pengelana, bagai dikultuskan dalam peribadatan paling khidmat, mereka merencanakan tidur lelap bagi kita. kami "disucikan" mereka bilang... nyatanya kami ditelanjangi tanpa sehelai benang melindungi kami "dimahsyurkan" mereka bilang... nyatanya kami hanya dilumpuhkan tanpa banyak bicara kami "disembuhkan" mereka bilang... nyatanya kami sedang dilemahkan dalam buai-buai kearif-an MENOLAK TUNDUK DAN BANGKIT MELAWAN — dan sekarang kutanya... mana? dimana? kemana? hilangkah sudah? bualan sampah yang teramat niscaya di telingaku... kukatakan pada kalian wahai para pembokong otoritas... dengarkanlah... jika aku adalah warna - aku adalah warna yang paling pekat jika aku adalah irama - aku adalah irama yang paling gila
  AKANKAH KAU MERUGI KARNA KEPUTUSANMU? Oleh : IMMawan Ezat Indra Saputra           Menjadi bahan renungan pada tiap diri kita, seberapa kita mengenal diri kita sendiri? Seberapa terbuka dan seberapa jujurkah kita dalam menghormati dan mendengarkan suara hati atau logika kita? Begitu naif ketika kesadaran dan proses mengenal diri terlewatkan pada tiap interaksi yang dilakukan. Kita adalah tuan, bukan korban dari nasib kita sendiri (Alfred Adler). Penerimaan diri pun sudah semestinya begitu erat terhadap tiap lakon hidup yang dipentaskan. Memang kita semua dilahirkan dengan rangkaian kekuatan dan kelemahan kita sendiri, dan tidak ada rumus ajaib yang bisa bekerja seperti mukjizat bagi kita semua.           Selama bertahun-tahun orang memahat, memalu, mengamplas, dan menggosok kita. Tepat ketika kita berpikir bahwa kita telah menjadi produk jadi, seorang membentuk kita lagi. Kadang kali kita merasakan indahnya taman bunga, dielus, dicium, dan merasakan pujian tiada henti, tetapi kadang k