Politik Yang Biasa Saja
Oleh : IMMawan Ilham Adhi Pangestu
Sejarah politik Indonesia lebih
banyak diwarnai oleh salah paham atau bahkan paham yang salah. Dan kesalahan
itu dimulai dari cara pandang kita melihat politik itu sendiri. Karena itu,
efek kesalahan tersebut menjadi sangat mendasar.
Pada masa Orde
Lama, politik ditetapkan sebagai “panglima.” Politik menjadi komando yang
mempengaruhi segala dimensi kehidupan. Mereka yang tidak ikut dalam arusnya
harus menyingkir atau disingkirkan. NASAKOM dan MANIPOL-USDEK, sebagai
serangkaian gagasan, mungkin mengandung banyak hal penting dan menarik. Tetapi
ia kemudian diperlakukan lebih sebagai slogan serta menjadi simbol betapa
totalnya dimensi politik dalam kehidupan bernegara.
Politik sebagai
panglima juga berlaku dalam bidang kehidupan lain, seperti kebudayaan dan
kesenian. Garda terdepannya adalah LEKRA, organ Partai Komunis Indonesia yang
siap mendukung pemberangusan bagi mereka yang berbeda. Di sini tak ada tempat
untuk musik ngak-ngik-ngok atau musik “Barat” lainnya yang dianggap tidak sesuai
dengan garis politik-kebudayaan pemerintah.
Pendek kata,
politik sebagai panglima harus merasuk dan merambah ke semua dimensi kehidupan.
Bahkan urusan percintaan pun ditentukan oleh politik. Walhasil, pada zaman Orde
Lama banyak terjadi patah hati dan putus cinta karena politik. Sebabnya?
Ternyata sang calon mertua partainya lain. Kalau tak percaya, tanyakan saja
kepada kakek atau nenek anda yang pernah mengalami zaman itu. Kalau ditulis
dalam novel pendek, mungkin cukup banyak cerita ala Siti Nurbaya yang dapat
dikumpulkan tentang cinta yang putus karena perbedaan garis politik.
Pada zaman itu,
agak sulit bagi pemuda Masyumi untuk kawin dengan pemudi PKI. Bahkan bagi dalam
aliran yang sama pun, sekat politik juga terasa: “anak” Masyumi harus berusaha ekstra
keras untuk mencari jodoh di kalangan “anak” NU. Begitu juga dengan “anak” PNI
dan PSI. Kalaupun ternyata ada pemuda-pemudi yang bisa kawin mengatasi
sekat-sekat politik tersebut, mereka harus agak nekat, dan jalan pintasnya
adalah kawin lari.
Singkatnya,
politik bukan lagi hanya satu bagian dalam kehidupan, tetapi sudah merasuk dan
mengatur aspek-aspek pribadi, seperti selera musik dan pasangan hidup, yang
normalnya tidak masuk dalam wilayah kekuasaan. Situasi seperti itu berubah
dengan tumbangnya Orde Lama dan berkuasanya Orde Baru. Zaman bergerak: paham
dan pengertian tentang politik pun berubah bersamanya.
Jargon “politik
adalah panglima” tidak terdengar lagi. Sebagai gantinya muncul pandangan yang
melihat politik seperti monster -- atau hantu blau, seperti kata orang Medan.
Politik adalah sesuatu yang harus dihindari. Jangan dekat-dekat dengan politik
kalau ingin selamat.
Karena itu di
kampus diadakan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) untuk “membebaskan”
mahasiswa dan pemuda terpelajar dari pengaruh politik. Untuk itu ada pula Badan
Koordinasi Kegiatan Kemahasiswaan (BKK) untuk mengontrol agar kegiatan
kemahasiswaan tidak tercemar oleh kotornya tangan-tangan politik.
Demikian pula
dengan desa. Desa harus disterilkan. Sawah adalah tempat mencari makan, bukan
untuk membangun basis dan memobilisasi kekuatan tandingan, seperti yang pernah
direncanakan oleh PKI di awal dekade 1960an. Pendeknya, Politik tak boleh masuk
desa, kecuali golongan yang bersifat kekaryaan. Jangan harap menjadi kepala desa
kalau terlibat dengan politik. Birokrasi pemerintahan harus fokus “berkarya”
dan tidak boleh ikut aktivitas politik apapun.
Memang tak ada
laporan soal putus cinta karena politik selama Orde Baru. Namun, jangan
bermimpi menjadi PNS (pegawai negri sipil) kalau dekat dengan politik. Jika mau
jadi pengusaha sukses dan memenangkan tender proyek pemerintah, jangan
neko-neko. Berpartai? Monggo mawon: tapi jangan coba-coba bergabung dan menjadi
pelaku aktif dari partai yang menjadi “lawannya” partai pemerintah.
Kalau mengingat
semua itu, kita patut bersyukur bahwa zaman Orde Lama dan Orde Baru sudah
lewat. Kita berharap, jarum jam tidak akan berputar balik. They have gone into
the dustbin of history – let them pass and never to return. Sekarang kita punya
kesempatan untuk meluruskan salah paham dan paham yang salah tentang politik.
Dalam era demokrasi ini jangan lagi kita memandang politik sebagai panglima
ataupun sebagai hantu blau. Sudah saatnya kita menganggap politik sebagai
sesuatu yang biasa-biasa saja.
Dalam demokrasi,
politik hanyalah salah satu dimensi kehidupan warga negara di tengah begitu
banyak dimensi kehidupan lainnya. Ada dimensi ekonomi, sosial, budaya. Ada
dimensi sportifitas, dimensi spiritual, bahkan ada pula dimensi romantikanya,
seperti cinta dan pilihan pasangan hidup. Masing-masing warga negara bebas
menentukan pilihan kehidupan, ekspresi kemerdekaan, dan pencarian kebahagiaan
masing-masing. Di Amerika Serikat, pengertian ini terpatri dengan baik dalam
semboyan di konstitusi mereka: life, liberty, and the pursuit of happiness.
Dalam paham ini
terbuka pilihan bagi semua orang. Bagi yang ingin berkecimpung dalam dunia
politik, termasuk menjadi kandidat dalam pemilu, silakan saja. Bagi yang ingin
terlibat dalam politik tetapi hanya sebatas mendukung dan memilih, silakan
pula. Mau menjadi “apatis”, tidak mau terlibat dalam urusan politik, bahkan
tidak ingin memilih? By all means, sejauh tidak mencelakakan atau mengancam hak
orang lain, lakukan apa yang anda anggap terbaik buat anda. Live and let live,
inilah kata-kata kuncinya. Anda hidup dengan cara dan pilihan anda sendiri, dan
biarkan orang lain juga dengan cara dan pilihan mereka masing-masing.
Sekali lagi,
politik hanyalah salah satu dimensi kehidupan. Yang ingin fokus berdagang,
silakan. Mau menjadi pekerja profesional, monggo saja. Tentara, seniman,
olahragawan dan sebagainya: semua ini adalah pilihan hidup yang sama sahnya.
Begitu pula, yang mau kawin, ya kawin saja, asal suka sama suka dan tidak
menabrak aturan serta etika kepantasan yang hidup dalam masyarakat.
Tak perlu kita
bertengkar hanya karena politik dan pilihan hidup. Pilih mana suka. Partai atau
kandidat: tak boleh ada paksaan dalam politik. Dalam demokrasi berlaku sebuah
prinsip, bagimu partaimu, bagiku partaiku; bagimu pilihanmu, bagiku pilihanku.
Kita bisa berbeda partai, tetapi kita tetap bisa berkawan dan ngopi bareng di
warung pinggir jalan.
Warna
berbeda-beda, tapi persahabatan jalan terus. Hari ini pilihan kita mungkin
berbeda, tetapi pada pemilu depan pilihan kita mungkin saja sama. Sebaliknya,
hari ini pilihan kita sama, kali depan mungkin sudah berbeda. Karena itu, kita
tak perlu setel kenceng urusan politik. Lebih baik kita memandang politik
sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja. Mudah-mudahan dengan begitu kita bisa
hidup lebih berbahagia.
Komentar
Posting Komentar
Wajib komentaar, neng ojo saru-saru.