SELF FOR MOVEMENT

Di tengah hiruk pikuk dunia, kita tumbuh. Dari anak-anak yang hanya tahu bermain, menjadi manusia dewasa yang harus berpikir sebelum berbicara, menahan sebelum meluapkan, dan memilih sebelum melangkah. Kita belajar bahwa tidak semua hal bisa diperhitungkan, tidak semua keinginan bisa terpenuhi, dan tidak semua rasa bisa diungkapkan. 

Kita hidup dalam kepala yang ramai, dalam tubuh yang lelah, dalam hati yang kadang penuh cinta dan kadang penuh luka. Tapi dari semua itu, kita tetap berjalan. Karena hidup adalah tentang bagaimana kita tetap bertahan meski tidak tahu apa yang akan terjadi esok. 


 

  1. Berhitung 

1…2…3… …10. Ulangi sampai keadaan menjadi lebih baik. 

Ada orang yang terbiasa berhitung. Bukan hanya soal angka atau uang, tapi juga dalam hal perasaan. Mereka menghitung bukan karena pelit, tapi karena tahu bahwa jika tidak menahan diri, keadaan bisa jadi lebih rumit. Berhitung memberi mereka jeda—waktu sejenak untuk berpikir, untuk tidak bereaksi secara impulsif saat emosi sedang tinggi. 

Bukan berarti mereka dingin atau tidak peduli. Justru mereka peduli, hanya saja mereka memilih untuk tidak langsung menunjukkan semuanya. Mereka tahu bahwa tidak semua hal bisa diselesaikan dengan ledakan emosi. Kadang, dengan berhitung, mereka bisa menjaga hubungan, menjaga suasana, bahkan menjaga diri sendiri. 

Namun, hidup tidak selalu tentang kalkulasi. Ada hal-hal yang justru terasa lebih ringan saat kita tidak terlalu memperhitungkan segalanya. Tertawa lepas tanpa memikirkan konsekuensinya, memberi tanpa berharap balasan, mencintai tanpa takut kehilangan. Tapi jangan pula mencela mereka yang selalu memperhitungkan segala hal. Mungkin itu cara mereka bertahan, cara mereka menjaga agar tidak hancur di tengah badai. Karena pada akhirnya, berhitung bukan soal angka. Tapi soal bagaimana kita memilih untuk tetap waras di tengah kekacauan. 

 

  1. Work Life Not Balance 

Kerja sulit gaji oke vs kerja oke gaji sulit. 

Kalau disuruh memilih, mungkin tidak ada yang benar-benar mau berada di antara dua pilihan itu. Kebanyakan orang pasti ingin yang ideal: kerja oke, gaji juga oke. Tapi kenyataan sering kali tidak seindah harapan. Banyak yang harus memilih antara pekerjaan yang menguras tenaga tapi memberi penghasilan layak, atau pekerjaan yang ringan tapi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan. 

Setelah bekerja, mereka ingin beristirahat. Tapi kadang pekerjaan tidak pernah benar-benar selesai. Ada tugas tambahan, ada kewajiban lain, ada tuntutan yang datang dari berbagai arah. Bahkan waktu untuk diri sendiri pun terasa seperti kemewahan yang sulit didapat. 

Beberapa orang sadar bahwa mereka berada di situasi yang tidak menguntungkan. Tapi mereka tetap bertahan. Bukan karena mereka tidak punya pilihan, tapi karena ada alasan yang lebih besar. Mungkin orang tua mereka sedang sakit. Mungkin kondisi ekonomi keluarga sedang terpuruk. Mungkin mereka hidup sendiri dan harus menghidupi diri tanpa bantuan siapa pun.

Dan karena itu, bukan hak kita untuk menyalahkan mereka. Kita tidak tahu perjuangan yang mereka hadapi. Kita tidak tahu air mata yang mereka sembunyikan di balik senyum. Yang bisa kita lakukan adalah menghormati pilihan mereka. Karena setiap orang punya jalan masing-masing, dan tidak semua jalan itu mudah dilalui. 

 

  1. Emosi 

Sering kali kita menyamakan emosi dengan marah. Padahal, emosi jauh lebih luas dari itu. Emosi adalah seluruh perasaan yang ada dalam diri manusia—senang, sedih, kecewa, takut, bahagia, dan tentu saja, marah. 

Lalu, mana yang lebih baik: menahan emosi atau melampiaskannya? 

Jawabannya tidak sesederhana itu. Menahan emosi terlalu lama bisa membuat kita meledak di waktu yang tidak tepat. Tapi melampiaskan emosi tanpa kendali juga bisa memperkeruh suasana dan menyakiti orang lain. Tidak ada yang benar jika dilakukan bersamaan dengan tindakan yang buruk. 

Sebagai manusia, wajar jika sesekali kita tidak bisa mengendalikan emosi. Tapi bukan berarti itu harus jadi kebiasaan. Terutama jika kita berada di sekitar orang-orang yang seharusnya tidak melihat sisi gelap kita—anak-anak, orang tua, pasangan, atau bahkan diri kita sendiri. 

Daripada terus menahan atau melampiaskan dengan cara yang salah, lebih baik kita belajar mengelola emosi. Meditasi, olahraga, menulis jurnal, atau sekadar menarik napas dalam-dalam bisa membantu. Karena emosi bukan untuk ditakuti. Tapi untuk dipahami, diterima, dan diarahkan ke tempat yang tepat. 

 

  1. Dewasa 

Menjadi dewasa itu tidak mudah. Selalu ada tuntutan dari segala arah—dari lingkungan, dari keluarga, dari pekerjaan, dan yang paling berat: tuntutan dari diri sendiri. Kita ingin memenuhi ekspektasi orang lain, ingin terlihat mampu, ingin dianggap berhasil. Padahal, tidak semua hal bisa kita lakukan, dan tidak semua harapan bisa kita wujudkan. 

Ada kalanya kita harus belajar melepaskan sesuatu yang sebenarnya sangat kita yakini, tapi kita tahu dalam hati bahwa kita tidak sanggup melakukannya. Rasanya pahit, sedih, kecewa, bahkan merasa gagal. Tapi jangan terlalu larut dalam kesedihan itu. Karena hidup terus berjalan, dan masih banyak hal yang bisa kita lakukan. Masih banyak tuntutan lain yang akan datang seiring waktu, dan kita harus tetap berdiri. 

Fase dewasa bukan hanya tentang tanggung jawab, tapi juga tentang menerima kenyataan. Tentang belajar bahwa tidak semua hal bisa dikendalikan. Kadang hidup terasa monoton, kadang jungkir balik tanpa arah. Tapi semua itu adalah bagian dari proses. Bagian dari perjalanan yang membentuk siapa kita sebenarnya. 

Jadikan fase dewasa ini sebagai pengalaman baru setiap harinya. Cari hal-hal kecil yang bisa membuat kita merasa hidup. Rasakan perasaan yang belum pernah kita rasakan sebelumnya—entah itu bangga karena berhasil menyelesaikan tugas berat, atau haru karena akhirnya bisa memaafkan diri sendiri. 

Habiskan semua pengalaman di masa muda dan masa dewasa ini. Nikmati setiap jatuh bangunnya, setiap tawa dan air matanya. Karena suatu saat nanti, di masa tua, kita akan menoleh ke belakang dan bersyukur bahwa kita pernah berjuang sekuat itu. 

 

  1. Ramai di Kepala 

Semakin dewasa, semakin banyak hal yang berseliweran di kepala. Tentang tindakan yang kita ambil, ucapan yang pernah kita lontarkan, atau bahkan hal sepele seperti “Mau makan apa ya hari ini?.” Semua itu berputar di pikiran, kadang tanpa henti, dan sering kali hanya bisa kita ucapkan dalam hati. Kita ingin berbagi, tapi tak selalu tahu kepada siapa. Kita ingin dimengerti, tapi tak selalu mendapat simpati. 

Terkadang, saat kita mencoba mengungkapkan isi kepala, tanggapan orang lain tidak sesuai dengan harapan. Yang kita butuhkan hanya pelukan, atau kalimat sederhana seperti “Aku paham.” Tapi yang datang justru penilaian, penghakiman, atau nasihat yang terasa menggurui. Dari situ, kita belajar. Belajar mengendalikan diri, belajar memilah mana yang perlu diucapkan dan mana yang cukup disimpan. Karena tidak semua isi kepala layak untuk keluar lewat bibir. Terutama jika yang kita pikirkan adalah kemarahan, kekecewaan, atau prasangka buruk. 

Diam bukan berarti tidak berpikir. Justru orang yang pendiam sering kali adalah mereka yang paling ramai di dalam kepalanya. Mereka menyusun kata, menimbang rasa, dan menyimpan semuanya rapat-rapat. Maka, jika kita bertemu dengan orang yang tampak tenang, jangan langsung menganggap mereka baik-baik saja. Bisa jadi, mereka sedang berperang dengan pikirannya sendiri. Ajak bicara duluan. Bangun suasana yang nyaman. Jangan paksa mereka bercerita, tapi beri ruang agar mereka tahu bahwa mereka boleh bercerita. 

Ramai di kepala bukanlah kesalahan. Tapi bisa menjadi beban jika kita tak berani mengungkapkan hal-hal yang mengganggu. Belajarlah mengenali mana yang perlu dibicarakan dan mana yang cukup untuk direnungkan. Karena kadang, satu kalimat yang terucap bisa menjadi jalan keluar dari keruwetan yang selama ini kita simpan sendiri. 

 

  1. Cinta 

Cinta itu rumit. Kadang tak bisa dijelaskan, tapi bisa dirasakan dengan sangat dalam. Cinta itu bukan sekadar kata, tapi rasa yang tumbuh dari perhatian, pengorbanan, dan kepercayaan. Cinta itu luas. Tak hanya soal pasangan. Cinta ya cinta—tidak ada istilah “Cinta yang lain.” Mungkin sebagian orang menyebutnya berbeda karena rasanya tidak sedalam itu. Tapi cinta tetaplah cinta, meski bentuknya beragam. 

Lalu, kapan kita merasa jatuh cinta? 

Cinta bisa terlihat di mana saja, jika kita mau memperhatikan. Di tempat ibadah, seorang hamba yang memohon dengan khusyuk karena percaya bahwa Tuhannya mencintainya. Di rumah, tempat cinta pertama kali dibangun—dari pelukan ibu, dari nasihat ayah, dari tawa saudara. Di jalan, keluarga pengemis yang saling berbagi makanan meski hanya sebungkus nasi. Di tempat-tempat yang kita lewati setiap hari, cinta sering kali hadir, tapi kita terlalu sibuk untuk menyadarinya. 

Namun, bersamaan dengan cinta, ada lawannya: patah hati. 

Rasanya menusuk, kadang membuat kita kehilangan arah. Terpuruk dalam patah hati bisa membuat dunia terasa sempit. Tapi jangan tinggal terlalu lama di sana. Bangkitlah perlahan. Jika kamu merasa belum mendapatkan cinta, lihatlah sekelilingmu. Lihat orang- orang yang hidupnya lebih sederhana, lebih berat, tapi tetap bisa tersenyum. Kasihanilah mereka, bantu mereka, dan kamu akan merasakan cinta itu mengalir kembali ke dalam dirimu. Karena cinta bukan hanya tentang memiliki. Tapi tentang memberi, tentang peduli, dan tentang hadir sepenuhnya, meski tanpa kata, meski tanpa balasan. 

 

 

Pada akhirnya, semua cerita ini adalah tentang kita. Tentang manusia yang terus belajar, terus jatuh, terus bangkit. Tentang mereka yang memilih diam karena pikirannya terlalu ramai. 

Tentang mereka yang bekerja keras demi alasan yang tak bisa dijelaskan. Tentang mereka yang mencintai dalam diam, dan patah hati tanpa suara. 

Dan jika suatu hari kamu merasa lelah, ingatlah: kamu tidak sendiri. Di luar sana, ada banyak kepala yang sama ramainya, hati yang sama rapuhnya, dan langkah yang sama beratnya. Tapi kita tetap berjalan. Karena hidup, meski rumit, tetap layak untuk dijalani. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Profil IMM KOM. MOH. HATTA

Kenaikan PPN : Antara Kebutuhan Pemerintah dan Penderitaan Rakyat

Kaderisasi Bukan Romansa, Melainkan Rasa yang Harus Dijaga