Pemikiran - Agama dan Negara
Pemikiran M. Natsir : Tentang Agama dan Negara
Oleh : IMMawan Khoirul Andiani
Oleh : IMMawan Khoirul Andiani
berbicara dalam
konteks perpolitikan M. Natsir pada masa itu di mulai saat M. natsir menjabat sebagai perdan menteri yanag pertama
setelah sukses dengan “Mosi Integralnya”. pengajuan yang di sampikan Natsir
ketika sidang parlemen untuk membentuk sebuah Negara kesatuan dengan melebur
semua negara bagian yang di ciptakan belanda dengan republik Indonesia yang
terpusat di yogya, dan usaha ini berhasil dengan baik. sebuah kedudukan yang
juga mendapat restu dari soekarno atas jabatan tersebut. akan tetapi hubungan dekat antara pemimpin
Negara dengan pemimpin masyumi yaitu soekarno dan natsir ini berubah menjadi
memburuk karena berbeda pandangan mengenai permasalahan irian barat. fenomena
yang tidak bisa kita bayangkan ternyata sebuah pertemanan dalam perjuangan
ternyata tidak selalu langgeng. perbedaan situasi dapat merubah iklim
persaudaraan yang tadinya intim bisa saja menjadi tegang atau bahkan memanas.
gambaran kecil ini yang terjadi antar kedua pemimpin besar di atas. seperti
penjelasan di atas bahwa gesekan-gesekan ini muncul akan permasalah irian barat
yang belum terselesaikan di KMB ( Konferensi Meja Bundar) pada akhir 1949.
perbedaan pendapat antar kabinet Natsir dan Soekarno dalam masalah Irian Barat menjadi titika awal iklim perseteruan antara keduannya. perbedaan pandangan ini sebenarnya tidak hanya pada maslah Irian Barat saja, terkait dasar Negara pun juga menyumbang dalam awal peseteruan dua figure Negara tersebut, perdebatan sengit menganai tafsiran pancasila sebagai dasar Negara. Dalam pidatonya itu, Soekarno menguraikan eksistensi dan asal-usul sila Ketuhanan Yang Maha Esa dari sudut dinamika masyarakat yang terus berubah sepanjang masa. Kita ikuti uraian Soekarno sebagai berikut: “Ketuhanan (Ketuhanan di sini saya pakai di dalam arti religieusiteit), itu memang sudah hidup di dalam kalbunya bangsa Indonesia sejak berpuluh-puluh, beratus-ratus, beribu-ribu tahun. Aku menggali di dalam buminya rakyat Indonesia, dan pertama-tama hal yang aku lihat ialah religieusiteit. Apa sebab? Ialah karena bangsa Indonesia ini adalah bangsa yang hidup di atas taraf agrarian, taraf pertanian. Semua bangsa yang hidup di atas taraf agrarian, tentu religieus”[1]
perbedaan pendapat antar kabinet Natsir dan Soekarno dalam masalah Irian Barat menjadi titika awal iklim perseteruan antara keduannya. perbedaan pandangan ini sebenarnya tidak hanya pada maslah Irian Barat saja, terkait dasar Negara pun juga menyumbang dalam awal peseteruan dua figure Negara tersebut, perdebatan sengit menganai tafsiran pancasila sebagai dasar Negara. Dalam pidatonya itu, Soekarno menguraikan eksistensi dan asal-usul sila Ketuhanan Yang Maha Esa dari sudut dinamika masyarakat yang terus berubah sepanjang masa. Kita ikuti uraian Soekarno sebagai berikut: “Ketuhanan (Ketuhanan di sini saya pakai di dalam arti religieusiteit), itu memang sudah hidup di dalam kalbunya bangsa Indonesia sejak berpuluh-puluh, beratus-ratus, beribu-ribu tahun. Aku menggali di dalam buminya rakyat Indonesia, dan pertama-tama hal yang aku lihat ialah religieusiteit. Apa sebab? Ialah karena bangsa Indonesia ini adalah bangsa yang hidup di atas taraf agrarian, taraf pertanian. Semua bangsa yang hidup di atas taraf agrarian, tentu religieus”[1]
Di bagian lain,
Soekarno berkata: “Dulu, tatkala manusia hidup di dalam rimba saya di bawah
pohon-pohon dan gua-gua, dia mengira bahwa Tuhan adalah berupa pohon, petir,
atau sungai. Dulu, tatkala manusia hidup di dalam alam peternakan, dia mengira
bahwa Tuhan berupa binatang. Sampai sekarang masih ada sisa-sisa bangsa-bangsa
yang menyembah kepada binatang. Dulu, tatkala manusia hidup di dalam taraf
agrarian, terutama sekali dulu, dia pun mempunyai ciptaan lain daripada Tuhan
itu. Dan tatkala manusia masuk di dalam alam industrialisme, banyak yang sudah
tidak mengakui kepada Tuhan lagi”[2]
Jika kesimpulan
dari pidato Soekarno itu secara sederhana ialah seseorang yang masih berada
dalam taraf kehidupan agraris memerlukan Tuhan tetapi kalau dia sudah menjadi
industrialis tidak perlu lagi Tuhan, pertanyaan Natsir kemudian, di manakah
gerangan hendak ditempatkan wahyu sebagai sumber kepercayaan dan keimanan
terhadap Tuhan. Pertanyaan itu, kata Natsir, mengandung jawabnya sendiri: “Bagi
seorang sekularis, soal Ketuhanan sampai kepada soal Ketuhanan Yang Maha Esa,
tidak ada hubungannya dengan wahyu. Baginya soal Ketuhanan adalah soal ciptaan
manusia yang berganti-ganti.”[3]
berbeda dengan pandangan oleh M. Natsir bahwa sila Ketuhanan Yang Maha Esa
harus menjadi point of refrence,
titik tempat memulangkan segala sesuatu. Bagi Natsir, Pancasila yang
tidak menjadikan sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai point of reference sebagaimana
difahami oleh para pendukungnya di Konstituante, bagaimana akan mendapat tenaga
penggerak jiwa bagi rakyat Indonesia yang sudah memiliki ideology agama yang
tegas-tegas dan meliputi jiwanya itu. Dalam kalimat lugas, Natsir
menyimpulkannya sebagai “tragis Pancasila yang sekuler, tanpa agama.”[4]
perseteruan semacam inilah yang terus sampai berimbas pada partai masyumi yang
di pimpin oleh natsir sendiri setelah menggatikan soekiman. di dalam bukunya
DR. Ahmad Syafii Maarif Islam dan politik di sana menggambarkan alur
logika revolusi ala Soekarno dalam kaitanya dengan partai islam, seperti yang
di kutip dari pernyataannya Mohamad Roem, logika revolusi itu”ialah .. harus
di tarik garis yang tegas antara sahabat dan musuh revolusi .” Masyumi dan
pimpinan-pimpinannya termasuk dalam musuh revolusi sehingga harus di singkirkan[5].
selanjutnya Syasii Maarif juga membuat rumus kecil yaitu bahwa yang di pandang
soekarno setelah Masyumi di pimpin Oleh Natsir maka menjadi Natsir = Masyumi
dan Masyumi = Natsir.[6]
Komentar
Posting Komentar
Wajib komentaar, neng ojo saru-saru.