Jalan Baru Peradaban Kita



Oleh: Tongku Marahakim
Semakin zaman bergerak maju, semakin terang manusia-manusia modern menemukan titik kegilaannya pada penggunaan segala produk barat yang kapitalistik. Bagai buah pinang dibelah dua, istilah “manusia modern” berbanding lurus dengan pola konsumtif segala produk modern. Tidak mengherankan jika hingga saat ini Amerika dan Eropa tetap dengan predikat Negara Maju-nya.dan Indonesia? Masih mapan dengan status Negara berkembang. Mengapa demikian? Bukankah pemerintah kita menjiplak teori pertumbuhan ekonomi dan merupakan anak emas IMF dan World Bank?
Pemerintah kita masih “istiqomah” dengan hal-hal diatas. Tetapi sialnya, sebagai kelas masyarakat menengah dan bawah, kita tidak mengetahui strategi “bayangan” pendukung teori diatas. Strategi itu adalah hegemoni seperti diungkapkan Gramsci dimana status “pengguna barang”sedari dini baik dalam lembaga pendidikan maupun media massa. Proses indoktrinasi akan pola konsumtif ini dijalankan oleh pemilik modal (Kapitalis) dan penguasa pada manusia Indonesia. Situasi dimana perasaan inferior dan ketergantungan pada suatu produk itulah yang disebut Hegemoni.
Lantas apakah itu salah? Toh peradaban barat nyatanya lebih maju dengan pola hidup yang sekarang kita tata? Mari kita bahas ini.
Awal kata peradaban adalah “adab” yang berarti sekumpulan tata nilai yang berlaku ditengah masyarakat. Maka sudah sewajarnya jika setiap bentuk masyarakat mempunyai standar peradabannya masing-masing. Menurut Syaria’ti, peradaban adalah suatu pencapaian dalam keintelektualan, seni dan nilai yang terbudayakan dalam masyarakat sehingga mewujudkan suatu tatanan masyarakat sejahtera. Inilah peradaban yang memang merupakan tahapan paling prestise semua lingkungan masyarakat.
Maka menjadi hal yang aneh jika saat ini kata peradaban itu hanya dimonopoli oleh para Kapitalis serta para bebek pengikut teorinya, tidak terkecuali kita yang masih menganggap suku Samin di Pati  dan fak fak di Papua sebagai manusia tidak beradab. Apa alasan kita berpendapat demikian? Apa hanya karena mereka tidak menggunakan tekhnologi canggih? Justeru dengan bertekhnologi semangat egaliter manusia terkikis, semangat diskriminasi yang didasarkan pada kepemilikan faktor produksi didalamnya tertanam kuat. Dengan tekhnologi, budaya mesianistik dan robotik tersebar menjamah pola pikir dan tingkah laku manusia dewasa ini.
Sekarang yang harus kita lakukan adalah mengcounter hegemoni, counter budaya dengan membuat suatu budaya tandingan. Budaya tandingan ini tidak dapat terlepas dari masyarakat kelas menengah yang berdiri independen diantara dua kelas lainnya. Budaya tandingan itu adalah budaya masyarakat dimana tidak ada lagi diskriminasi klas masyarakat, tidak ada lagi penindasan dan penghisapan. Budaya tandingan itu menjamin setiap individu mengekspresikan hak-nya dengan tetap memperhatikan norma dan aturan yang telah disepakati bersama. Budaya itu harus menjamin terciptanya suatu kondisi nature of state.

Pada akhirnya budaya itu membentuk peradaban yang  Manhaj A’la Nubuwwah, Baldhatun toyyibatun wa Robbun Ghofur, yangMadani. Budaya dan peradaban ini tidak akan terwujud selama struktur berfikir cendekiawan muslim masih konservatif, kaku dan eksklusif. Cendekiwan muslim yang juga adalah mahasiswa haruslah berfikir transformatif-emansipatoris, inklusif dan progresif. Mahasiswa dan Perguruan Tinggi sebagai medianya menjadi poros penggagas gerakan counter itu.
Orientasi Perguruan Tinggi kita harus berdiri indenpenden atas dasar kemanusiaan yang berarti menghilangkan segala bentuk alienasi (keterasingan) yang dapat mengganggu manusia dalam menemukan kearifan tertinggi darinya. Paradigma pendidikan kita haruslah kritis, memanusiakan manusia, tanpa berfikir tentang kepuasan harta, tahta dan seks. Pendidikan yang berorientasi hanya pada dunia kerja itulah yang disebut paradigma Liberal dan kita harus menentang itu. Kita harus menentang pendidikan yang berorientasi pada pasar tenaga kerja.
Perubahan yang kita tawarkan dapat melalui dua cara, lewat diplomasi-birokrasi atau lewat pencerdasan massa aksi. Jikalau dengan cara diplomasi-birokrasi kampus ini kita gagal, tidak ada cara lain selain mendidik massa aksi tentang konsepsi-konsepsi perubahan yang transformatif-emansipatoris. Kita harus mulai ini dari sekarang dengan diskusi-diskusi tematik dalam kampus, membangun wacana-wacana kritis, menjadikan pesan K.H Ahmad Dahlan yakni “jadilah guru sekaligus murid” yang dapat ditafsirkan sebagai “dosen tidak selalu pintar dan mahasiswa tidak selalu bodoh, dosen bukan dewa dan mahasiswa bukan kambing congek” sebagai mainset berfikir kita dalam dunia akademis ini. Ini langkah kongkrit kita, dan akhirnya “Mari lah Kita Menang”!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Profil IMM KOM. MOH. HATTA