Dari Mana Kita Mulai ?
Oleh: Tongku Marahakim
“Teruntuk kaoem boeroeh di
seloeroeh dunia,
BERSATULAH”
Pidato pembuka Tan Malaka saat
Komintern II, Soviet
Ali Syaria’ti, seorang intelektual
muslim Iran yang hidup pada rezim otoriter Syah Iran, merupakan salah satu tokoh
pencetus revolusi Iran. Ia adalah manusia rausyanfikr,intelektual
tercerahkan yang mencerahkan pemuda Iran untuk bangkit menantang si penindas. Syah
Pahlevi yang dzalim. Ia berpidato
tentang Islam dan pembebasan tidak dimasjid, tidak pula di gedung parlemen.
Tapi diruang perkuliahan yang beku dan kental berbau akademis itu ia
mengungkapkan pandangannya yang cemerlang dan berpihak kepada orang-orang
miskin dan kaum tertindas (Musthada’fin).
Ia meninggal dunia sebelum melihat buah perjuangannya beserta para Mujahid Iran. Namun manusia yang
bermanfaat adalah sebaik-baik manusia (Hadist Nabi). Ia memberikan karya-karya
kemanusiaannya dengan melahirkan beberapa buku diantaranya Haji, Membangun Masa Depan Islam, Peran Cendekiawan Muslim, dan Ideologi Kaum Intelektual. Disini kita
sedikit banyak membedah salah satu karyanya yaitu Ideologi Kaum Intelektual.Dalam buku Ideologi Kaum Intelektual, Ali Syaria’ti mencoba mengupas apa itu Ideologi dan apa perannya bagi kaum
intelektual khususnya dan rakyat tertindas pada umumnya dalam membangun sebuah
peradaban yang mandiri tanpa diskriminasi dan dominasi klas.
Menurut Syaria’ti, intelektual adalah rausyan
fikr, orang yang tercerahkan. Mereka adalah orang-orang yang berperan dalam
melakukan perubahan struktur sosial yang mapan. Gelar ”intelektual” tidak hanya
didapat dari bangku sekolah konvensional tapi setiap orang yang berperan dalam
membawa perubahan bagi lingkungannya disebut rausyan fikr, para ulil albab,
orang yang menggunakan akalnya untuk berfikir. Jadi disini pemaknaan gelar
”intelektual” diperluas. Menurut Syaria’ti, pemaknaan gelar ”intelektual” telah
di konvensionalkan oleh beberapa
pemikir barat sehingga ada reduksi makna
gelar ”intelektual” padanya. Kita dan para manusia modern zaman sekarang
menafsirkan kata ”intelektual” adalah gelar yang hanya didapat dalam bangku
sekolah.
Dalam term (sudut pandang) kapitalis-modernis, golongan akademis dianggap
sebagai pewaris tunggal predikat ”kaum intelektual”. Namun dalam term
transformatif-emansipatoris, makna ”kaum intelektual” adalah mereka yang tidak
hanya duduk dibangku sekolah saja, tetapi setiap orang yang berperan dalam
melakukan penyadaran dan perubahan terhadap masyarakat kearah yang lebih baik
tanpa mengenyam bangku kuliah pun disebut ”kaum Intelektual”.
Dalam Qura’n disebutkan bahwa Muhammad S.A.W adalah ummi. Ummi disini tidak
dimaknai sebagai yang bodoh, tidak mampu
baca-tulis. Tetapi ummi disini
dimaknai sebagai rakyat tertindas. Lihat berapa jumlah masyarakat makkah yang
tidak mampu baca-tulis waktu itu? Mereka kebanyakan adalah budak, golongan yang
ditindas oleh golongan masyarakat lain dan dibandingkan orang-orang
kaya makkah waktu itu, jumlah mereka lebih banyak. Mereka yang banyak dan
tertindas itulah yang dikatakan Qura’n sebagai ummi, dan Muhammad bin Abdullah (salam sejahtera selalu untuknya)
dikatakan terlahir sebagai yang ummi.
Menurut Syaria’ti, ummi itu adalah
simbol yang diberikan islam kepada manusia bahwa Rasulullah S.A.W adalah
pemimpin kaum tertindas dan panutan bagi para pembebas. Bahwa Rasulullah adalah
pemimpin yang lahir dari rahim rakyat.
Selanjutnya yang menjadi pertanyaan kita adalah, apa yang mendorong
manusia-manusia tercerahkan itu untuk bangkit merubah struktur masyarakat yang
timpang? Syaria’ti berpendapat bahwa yang mendorong seseorang manusia untuk
bangkit merubah adalah adanya suatu bentuk kesadaran. Suatu bentuk kesadaran
diri ini yang disebut sebagai Ideologi.
Dalam strukturnya, tahapan-tahapan untuk mencetus suatu perubahan adalah paradigma-ideologi-teori
perubahan--organisasi/komunitas perubah-agitasi propoganda-revolusi.
Paradigma/term/pendekatan adalah sudut pandang atau kaca mata seseorang dalam memandang sebuah
persoalan. Terkait perubahan, paradigma perubahan terbagi kedalam dua macam
yaitu paradigma Strukturalis dan
paradigma Humanis. Paradigma strukturalis adalah sudut
pandang yang dipakai dalam melihat suatu perubahan terjadi karena lingkungan.
Setiap bentuk kesadaran diri dipengaruhi oleh dinamika lingkungan dan
kontradiksi yang dihasilkannya. Paradigma
humanis adalah sudut pandang yang dipakai dalam melihat suatu perubahan
terjadi karena adanya kesadaran diri dari dalam diri manusia dan tanpa
tekanan dari lingkungan. Dari dua macam
paradigma itu lahir ideologi .
Apa Ideologi kita ?
”Dengan tegas aku katakan bahwa
ideologi kaum intelektual muslim adalah Islam” tulis Syaria’ti. Dalam perjalanan sejarah
perjuangan sejak manusia diturunkan ke muka bumi, islam dengan seperangkat
ajaran simboliknya mengambil peran sebagai kekuatan pembebas dalam mendobrak
struktur masyarakat yang mapan. Ini yang menjadikan islam sebagai agama dan
ideologi rahmatan lil alamin setiap
waktu.
Ideologi kita islam, lalu islam dengan paradigma seperti apa ?
Paradigma strukturalis yang kemudian disebut
sebagai Islam Transformatif jawabannya. Islam Transformatif
menempatkan habluminannas sebagai
wujud ketauhidan manusia terhadap Tuhan. Islam yang membebaskan inilah yang
kemudian memandang bahwa ajaran-ajaran Tuhan tidak dapat terlaksana dengan baik
selama masih terdapat suatu golongan menindas golongan lain. Maka kewajiban
muslim adalah merubah itu dengan perjuangan dan pemberontakan untuk mengganti
sistem yang ada dengan sistem yang adil.
Inilah tugas utama orang yang tercerahkan. Para intelektual muslim yang
kemudian dengan berani menantang segala teori dan ilmu modern yang menindas.
Setiap muslim haruslah berideologi dan itu adalah islam dengan paradigma
transformatif. Ini merupakan kewajiban sebagai khoiru ummah.
Komentar
Posting Komentar
Wajib komentaar, neng ojo saru-saru.